Kekurangan Hadiah dari Tuhan

23 Februari 2012

Malam ini makan malam ditemani sesepuh Kastil yang telah lama tak bersua. Ia yang begitu tenangnya seperti biasa, bak kebijaksanaan terpancar.

Teman berkata, kekurangan diri yang ada selama ini ialah Kemampuan menerima dan menghargai pendapat orang lain. Kemampuan objektif berniat tulus yang telah lama hilang, yang semakin lama semakin menenggelamkan.

Kemampuan bersikeras dan ngotot, dan kemampuan berkonsep tanpa gagasan kongkrit, serta kemampuan untuk ikhlas berkontribusi meski tak harus menonjol. Kemampuan kerendahan hati, kemampuan kelapangan dada, kemampuan kelurusan niat, dan diatas itu semua, altruistik murni tanpa adanya campur tangan nafsu pencitraan dan gengsi.

Jabatan adalah sebuah amanah. Bukan gengsi-gengsi, ibarat kompetisi melebihi yang lain. Kedewasaan dituntut.

Tampil baik didepan orang lain jika memang ingin yang terbaik maka lakukanlah yang terbaik. Bukan kepura-puraan atau kepalsuan. Pujian janganlah jadi tujuan. Predikat terbaik sungguh harus bermula dari hati yang terbaik pula. Tak hanya dipenuhi oleh ambisi pribadi.

Al-Qur'an, Sunnah, dan kebaikan apapun yang disampaikan takkan terasa baik jika terdapat bumbu-bumbu nafsu pribadi didalamnya.

Kesuksesan, predikat terbaik bukanlah diukur dari CV. Bukanlah diukur dari pencapaian pribadi. Ia bersendikan kemuliaan dan keinginan tulus demi ilahi dan mereka yang membutuhkan.

Astagfirullahalazhim.

Belajar. Haruslah selalu dilakukan, agar dapat berpikir jernih dan sesuai. Logika haruslah diasah. Diasah pada arah yang benar. Pengambilan keputusan yang berdasar ketenangan, tanpa andil maksud duniawi didalamnya, berbalut kesenangan apapun yang didapat, entah itu pujian atau celaan, asal tercapai tujuan tak masalah apapun aral melintang. Dikenang atau tidak, ada penghargaan khusus atau tidak, sungguh biarlah Allah yang mengurusnya. Penghargaan dariNya jauh melebihi ekspektasi makhlukNya.

Kekurangan ini memang tamparan, namun bukanlah alasan untuk terus berusaha dan bersikap terlalu hati-hati serta takut mencoba. Kekurangan ini, dengan perbaikan adalah jalan menuju kedewasaan. Kekurangan ini tak pernah jadi alasan untuk gagap dalam mengambil keputusan. Kekurangan ini adalah ujian sekaligus cobaan. Kekurangan ini bisa jadi rintangan sekaligus tantangan.

Kekurangan ini kan menguji seberapa besarkah kapasitas kebaikan yang tertanam.

Kekurangan ini adalah hadiah dari tuhan.

Fajar Faisal Putra
Dan segala kekurangannya.
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2010

Peta Kehidupan

Islam itu ibarat peta kehidupan. Peta berguna menunjukan arah, memberi kan arahan kepada jalan yang baik lagi benar.
Peta yang dibutuhkan itu, baiknya lengkap dan tidak terbagi-bagi. Apabila peta itu terpotong-potong atau terbagi-bagi, maka akan sangat sulit bertemu jalan yang benar, sampai pada tujuan yang diinginkan, dan bukan tak mungkin berada dalam kesesatan.

Milikilah peta yang lengkap, yang tak kurang komponen-komponennya.

Seumpama peta, Islam itu berprinsip miliki semua, atau tersesat.

Kita baiknya tak memfraksi-fraksikan syariat islam. Melakukan beberapa ketentuan islam dan meninggalkan beberapa lainnya. Tidak bisa begitu. Maka sungguh, taklah salah jika kesesatan begitu dekat. Taklah salah kemunduran terus terjadi, kesengsaraan tak mau pergi, dan kejayaan tak kunjung dimiliki.

Dan ibarat pengelana berpeta tak sempurna, lama kelamaan bekal kan habis karena sibuk tersesat, tak sampai-sampai pada tujuan. Bekal itu adalah waktu. Dan saat waktu itu tlah habis, maka kesia-siaanlah yang ditinggalkan.

Sungguh, tak ingin perjalanan singkat kehidupan ini berakhir sia-sia. Lalu, dimanakah peta itu berada ? kemanakah harus dicari peta itu ?

Peta itu ada dalam peninggalan manusia terbaik di dunia, Rasulullah SAW. Al-Qur'an dan Sunnah, mata air kehidupan yang tak pernah kering, kan menyegarkan mereka yang berdahaga dan menyuburkan hati yang tak pernah layu.

"Sudah kubaca, namun tak terasa mulia-nya"

Tak hanya sekedar membaca, namun ditadaburi dan ditafakuri, artinya dipahami dan dipikirkan dengan mendalam. Tak masalah bahkan mengulang-ulang sebuah ayat berhari-hari. Yang lebih diutamakan ialah kualitas kepahaman, bukan kuantitas pembacaan. Apa gunanya melihat peta sering-sering namun tak mengerti apa yang dilihat ?

Saat zaman keemasan islam, kemenangan dan kejayaan yang didapat dahulu, sahabat memahami Al-Qur'an sepuluh ayat, dan takkan melanjutkan ayat berikut sebelum benar-benar mengerti, tak peduli berapapun waktu yang dibutuhkan.

Terakhir, ada sebuah goresan tinta berani dari seorang ulama besar,
"Ambil seluruhnya atau tinggalkan sama sekali"- Sayyd Quthb


Fajar Faisal Putra
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2010f

Mahasiswa 'eF-Ka' Unpad, Mahasiswa Jutaan Rupiah

"Tugas lab dikumpulkan ya, minggu depan", perintah dosen lab tiap minggu.

"Ah, bisa dikerjain sehari sebelumnya, gampang", sebut Badrul, 19 tahun mahasiswa tahun keempat Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.

Sehari sebelum lab, Badrul pun kebingungan karena tugas ternyata begitu banyaknya dan akhir kata, Badrul menyalin catatan temannya. Dan hal itu dilakukan dengan kecepatan yang mengagumkan dan kemampuan yang tak terbayangkan, yang bahkan tak muncul saat-saat waktu biasa.

Apa yang terjadi pada Badrul, bukanlah pengalaman atau kebiasaan satu dua orang. Taklah sedikit calon-calon dokter yang terhormat itu melakukannya. Mereka sepakat menamainya 'Lasut'

'Lasut' konon berasal dari bahasa Sunda, yang dengan beberapa menit menggunakan Google, berarti Kalah. Hal ini sungguh membingungkan saya.

Dari beberapa situs rujukan, muncul juga istilah 'the last minute Syndrome'. Last minute syndrome adalah istilah psikologis dimana manusia akan semakin bersungguh-sungguh saat waktu batasan atau deadline semakin mendekat. Sayangnya, perilaku ini dapat saya sebut sebagai kebiasaan bangsa. Ke'lasut'an ini telah jadi budaya yang mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia yang tercinta ini.

Fenomena ini adalah penghambat kemajuan dan pemupuk keterpurukan. Sehebat apapun satu-dua orang inovatif Indonesia dengan ambisi dan usahanya, tetapi objek usahanya, rakyat Indonesia tak menjawab dengan kemampuan termaksimalnya, maka perubahan itu takkan terjadi. Indonesia kan sulit untuk bersaing dan maju, dan terperangkap dalam kesengsaraan dan keterpurukan.

Kembali lagi pada Badrul dan Mahasiswa 'eF-Ka'. Ke'lasut'an seorang mahasiswa terimplikasi pada kemalasan. Kemalasan kan menyebabkan tidak maksimalnya penyerapan ilmu. Ilmu yang kurang terserap, kan berujung pada Dokter yang pas-pas-an, pastinya bukan dokter yang menyediakan kemampuan terbaik untuk rakyat Indonesia. Kebermanfaatan dokter untuk masyarakat keseluruhan jadi masih memprihatinkan.

Faktanya, Masyarakat Indonesialah yang sebenarnya menyekolahkan kita.

Kenapa ?

Sekarang coba kita hitung-hitung, berapa sebenarnya seorang mahasiswa 'eF-Ka' mengeluarkan biaya untuk kuliahnya ?

Untuk lulusan SNMPTN, uang masuk itu 6 juta rupiah saat semester 1. Kemudian, uang semester-an 2 juta rupiah, begitu terus hingga semester 7. Jika ditotal, 3,5 tahun kuliah mahasiswa 'eF-Ka' itu mengeluarkan biaya Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) hingga gelar S.ked.

Untuk lulusan SMUP, uang masuk sekitar 175 juta minimal, ditambah uang semseteran 2 juta rupiah juga, jika ditotal 3,5 tahun kuliah, mengeluarkan biaya Rp 195.000.000,00 (seratus sembilan puluh lima juta rupiah).

Oke, itu jumlah yang cukup banyak. Sudahkan jumlah-jumlah itu mencukupi untuk menutupi pembiayaan mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Padjadjaran ?

Fakta, ternyata seorang mahasiswa 'eF-Ka' itu dibiayai sebesar 35 juta rupiah per semester oleh negara, yang notabene merupakan uang rakyat.

Jika dihitung-hitung lagi, untuk mahasiswa SNMPTN, dibiayai sekitar 225 juta untuk 3,5 tahun, setelah dikurangi 20 juta. Mahasiswa SMUP dibiayai 56 juta untuk 3,5 tahun, setelah dikurangi juga tentunya dengan 195 juta rupiah.

Ini bukanlah hibah semena-mena. Uang ini bukanlah diniatkan untuk cuma-cuma. Dengan masih ada sekitar 35 juta orang berada dibawah angka kemiskinan, dibawahnya miskin, uang negara tetap dialokasikan untuk mahasiswa 'eF-Ka'. Ini adalah investasi, investasi untuk masa depan Indonesia. Mereka rela, berlapar-lapar agar kita bisa belajar dan bekerja. Mereka rela, tak bermasa depan agar kita ambisi dan impian kita terpenuhkan. Itu semua dilakukan, agar investasi ini dapat menghasilkan keuntungan atau manfaat di kemudian hari. Namun, benarkah manfaat itu kan didapat ?

Dengan ke'lasut'an bangsa, dan kurangnya kepekaan dan kesadaran, akankah kebermanfaatan itu kan didapatkan ?

Dosakah kepercayaan pertaruhan ibu Pertiwi untuk kita dijawab dengan ke'lasut'an ?

Dan saat ke'lasut'an itu telah terobati, hingga akhirnya terwujudlah dokter yang mapan dan cerdas, akankah kecerdasan itu menyentuh rakyat-rakyat yang selama ini membiayainya ?

Jawab dengan tindakan.



Fajar Faisal Putra
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2010a

Masa Depan, Kuliah, dan Indonesia

Belakangan ini, terasa sekali banyak kesuksesesan usaha-usaha yang menginspirasi. Seiring banyaknya kesuksesan ini, berkembanglah pemikiran untuk membagi kesuksesan ini dalam bentuk sharing, training, atau pun seminar inspirasi tentang enterpreneurship dsb.

Banyak kalangan, dari wiraswasta, pegawai, bahkan mahasiswa tak pelak mulai meniti karir di bidang ini.

Terasa bahwa ternyata inilah hal yang lebih menyenangkan dan lebih nyaman dilakukan. Tak perlu berlama-lama duduk di bangku perkuliahan, seakan siapapun bisa melakukannya. Dengan kombinasi usaha dan do'a, insyaAllah trcapailah kesuksesan katanya.

"Demam" ini juga tak dipungkiri menghampiri anak 'eF-Ka' khususnya ditempat saya menimba ilmu. Angkatan tertua yang telah menyandang gelar sarjana dan sebentar lagi akan menempuh jalan klinis hingga akhirnya gelar dokter dapat diraih.

Beberapa teman, berniat menunda bahkan meninggalkan jalur amanah ini demi memperturutkan keinginan atau targetan atau bahkan jalan hidup yang dipilihnya.

Sesuai dengan kata 'Proficio' dari bahasa Yunani, dasar kata profesi, yang berarti Panggilan Jiwa, karir dan masa depan haruslah seiring dengan kegemaran dan kesukaan. Tidaklah cerdas apabila masa depan ditentukan oleh paksaan ataupun dirancang oleh orang lain.

Bapak Kemal Aziz Stamboel, dalam leadershiptalk2012 berujar, bahwa manusia calon pemimpin Indonesia bebas menentukan masa depannya jadi apapun,
Tidaklah masalah apapun dasar pendidikan kita.

Namun, disisi lain, saya teringat dengan bangsa saya yang besar, mayoritas penduduknya belumlah orang yang sejahtera. Masih banyak masalah kesehatan yang terjadi dan adapun jumlah penjaja layanan kesehatan terbaik, katakanlah dokter belumlah cukup di Indonesia.

Data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, 2010, menunjukan bahwa jumlah dokter saat ini adalah 25.333 orang. Sedang jumlah rakyat Indonesia saat ini adalah 237,4 juta jiwa.

Jadi, dengan perhitungan kotor, kira-kira 1 dokter Indonesia melayani sekitar 9300 orang. Belumlah ada masalah ketidakmerataan-nya dokter. Masih banyak dokter yang alergi dengan indah dan terpencilnya pedesaan. Memang jaminan kesejahteraan dokter juga berperan penting disini.

Sedang menurut standar WHO, dokter itu haruslah mencapai perbandingan 1:2000 orang untuk mencapai keefektifan yang baik.

Jadi, berkurangnya 1 calon tenaga kesehatan terbaik itu sama dengan hilangnya jaminan kesehatan untuk ribuan orang.

Berpanjang lebar mengungkap realita, terpikir, sebenarnya apakah penyebab utama masalah ini ? Dimanakah tonggak penentu masa depan itu ?

Pendidikan sekolah menengah. Salah satu pintu penentu karir. Coba kita perhatikan pendidikan sekolah menengah yang ada di Ibu Pertiwi ini.

"Badrul, anak SMA jaman sekarang, kegiatan sehari-harinya sangat sibuk seakan pekerja-pekerja professional. Setiap harinya, Badrul sekolah dari pukul 6.30-16.00 wib. Pulang sekolah, karena tak ingin tertinggal dengan teman-teman lainnya, ia pun mengambil kelas tambahan di luar sekolah, hingga pukul 18.00 wib. Begitu terus 6 hari seminggu. Saat sampai di rumah, kemungkinan Badrul sudah lelah. Sedang pekerjaan rumah dari sekolah tetap menunggu. Terkadang ia juga mengeluh kapan harus bermain dan mengembangkan bakatnya.

Seakan waktu sehari 24 jam taklah cukup baginya."

"Kemudian, saat tiba ujian masuk universitas, Badrul bingung memilih jurusan apa. Adapun ia mengikuti arus pemilih, pada sebuah fakultas kedokteran, tanpa benar-benar tahu apa sebenarnya masa depan seorang dokter, bagaimana gambaran pendidikan seorang dokter. Dan, ternyata Badrul lulus dalam pilihannya. Namun, seiring waktu berjalan, ia merasa berat dan kehilangan ketertarikan. Ia melirik berbagai bidang lain yang menyenangkan baginya."

Skenario diatas, dapat saya jamin bukanlah terjadi pada satu dua orang. Dalam penentuan masa depan dan karir, sepatutnya dijelaskan seterang-terangnya. Dan dalam kehidupan sekolah, seharusnya lebih efektif lagi. Sekolah bukanlah formalitas penghasil ijazah. Sekolah harusnya jadi tempat utama mencari ilmu. Harusnya sekolah dapat mencukupi kehausan ilmu siswa-siswi Indonesia. Agar tak perlulah ada les tambahan pelajaran yang pastinya akan menyita waktu. Kapan lagi seorang pemuda memiliki waktu untuk mengembangkan minat dan bakatnya, untuk lebih mengenal dirinya, dan hingga akhirnya tahu jalan karir atau cita-cita masa depannya apa.

Tak mudah memang, merubah apa yang telah ada. Spencer, seorang filsuf, mengatakan bahwa manusia itu kuno. Ia memiliki kecendrungan untuk bertahan pada sesuatu yang telah lama ada. Takut mencoba hal-hal yang baru.

Namun ada saatnya kita harus berubah. Berpikirlah strategis. Berubahlah jika itu memang yang harus dilakukan. Bertahanlah jika memang itu yang terbaik.




Fajar Faisal Putra
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2010