Oligopoli Nilai Manusia

Terkadang dunia ini cukup aneh. Uang sebagai alat tukar telah menjadi parameter dan variabel terkuat didalamnya.

Begitu juga parameter lainnya yang secara kejam di generalisir oleh akademisi lulusan universitas terbaik sekalipun.

Kelulusan, jumlah gaji, indeks penilaian dan lainnya sudah jadi oligopoli dalam parameter nilai seorang manusia. Lantas, tanpanya apa manusia tak punya harga ? Apa ini semua telah menjamin penyelesian masalah pun terobosan spektakuler akan problema dunia ?

Jika iya, maka hendaknya harus adil dalam apresiasinya. Maka (mungkin) setiap yang lulus kuliah harus dihadiahi  upah atas usahanya, tak hanya kepuasan akademik semata. Setiap indeks prestasi terbaik (mungkin) harus diapresiasi dengan sejumlah uang yang mumpuni. Toh, katanya akan ada jaminan akan perbaikan dan penyelesaian masalah dan uang telah jadi parameter apresiasi terkuat saat ini. Karenanya tidak masalah tentunya.

Tapi nyatanya tidak. Ribuan lulusan universitas terbaik rerata menganggur setelah kelulusannya. Beberapa bahkan menjadi sopir angkot, berjualan pulsa, dan melakukan segala jenis kerja lainnya yang sejujurnya tak membutuhkan pendidikan bertahun-tahun di bangku perguruan tinggi. Lulusan-lulusan terbaik pun tak memberi jaminan akan solusi masalah bangsa. Tingkat kemampuan bersaing kita pun masih kalah jauh, ada 46 negara beserta jutaan penduduknya yang lebih baik dibanding kita di dunia ini. Dengan semakin majunya teknologi dan kemudahan akses, maka apa jaminan keuntungan geografis dan demografis yang kita miliki di Indonesia tidak akan membuat kita kalah saing dibanding jutaan pekerja dari 46 bangsa tersebut ?

Masalahnya adalah, dinamika manusia terlalu maju untuk dapat diukur oleh pengetahuan terkini saat ini. Kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan telah membawa miliaran manusia mencapai kesuksesan yang paradoksikal dibanding kondisi awalnya. Progresifitas perkembangan dan perubahan ini, meski telah banyak diteliti oleh psikolog dan ilmuwan-ilmuwan lainnya ternyata masih memiliki variabel-variabel yang luas. Yang tidak mampu mereka pastikan. Karenanya bahkan seorang yang hanya lulusan SMA kini menjadi orang terkaya di dunia. Karenanya seorang yang dulunya wiraniaga kini memiliki brand terbesar dan termahal di dunia bahkan membawanya menjadi orang terkaya nomor 3 di dunia. Yang kini membawahi ratusan juta wiraniaga lainnya.

Jikalau saya boleh sedikit religius, dan saya sungguh percaya bahwa seluruh kejadian ini telah direncanakan, dinamika ini adalah mozaik kehidupan yang jika sedikit saja ada perubahan didalamnya maka masa depan yang kita miliki akan berbeda, maka adalah kemahakuasaan yang mengendalikan ini semua. Bukan hanya sebuah kebetulan yang semata terjadi dan pada kebetulan itu kita ada didalamnya. Teorema ini adalah buah keputusasaan saat tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi serta ketidakmampuan menerima bahwa manusia bukanlah yang entitas terkuat dan paling berpengaruh dalam jagad raya ini. Kemahakuasaan itulah yang menjadi variabel tak terkendalikan oleh kita.

Dinamika manusia ini adalah bagian dari kuasaNya. Ide dan pemikiran yang kita anggap spektakular itu datang dari kejadian-kejadian yang direncanakan. Buku yang kita baca, artikel yang kita lihat, jurnal yang kita pahami, info yang kita dengar, dan fakta yang kita amati, seluruhnya yang tertanam menjadi ingatan suatu saat akan berasosiasi saat menemukan momentum yang tepat-yang juga merupakan buah dari sebuah kejadian.

Jadi, masihkah kita hanya percaya pada oligopoli penilaian tersebut ? Masihkah kita, yang tak melihat keseluruhan entitas manusia, menilainya dengan penilaian parsial semata ? Jika iya maka harus siap juga dengan konsekuensi apresiasinya. Kita memang tak mungkin menilai secara keseluruhan, tapi yang sebaiknya kita lakukan adalah menilai secara bijak dan pastikan kita menggunakan waktu yang cukup dalam penilaiannya.  Dan tak lupa memperhitungkan kemungkinan perkembangan dan progresifitas tiap manusia serta faktor kemahakuasaan juga.

Jalan Sepi Para Pejuang

Penduduk dunia ini terus bertambah. Bertambah banyak hingga ada manusia yang tinggal berdesakan dalam petakan 2x2 meter sahaja. Namun kuantitas yang mumpuni ini ibarat buih di lautan. Jalan juang tetaplah sepi. Di jalan juang yang panjang dan terjal ini, menjaga kewarasan adalah tugas tersulit terlebih bila tak ada kawan seperjalanan yang dapat mengingatkan.

Dalam lulusan universitas terbaik, mari kita hitung yang benar-benar terdidik dan terajar. Mari kita cari seberapa besar mereka yang terdidik sehingga mampu memahami ilmu yang telah ada bahkan membuat gagasan cerdas untuk pengetahuan terbaru. Juga  sejatinya seberapa banyak kalangan psuedo-terdidik hanya membebek saja atas pengetahuan yang telah ada, hapal saat dibutuhkan dalam pengujian-pengujian, namun lupa kembali saat tak lagi ada keperluan pengujian ?

Jika ada yang mempertanyakan kenapa lulusan perguruan tinggi banyak yang menganggur maka jangan salahkan perguruan tingginya saja, ada porsi kesalahan semenjak sekolah menengah bahkan sekolah dasar. Semenjak kecil telah terbiasa dididik dengan di'suapi' ilmu pengetahuan tanpa pernah belajar 'menyuap' sendiri ilmu pengetahuan tersebut. Saya rasa tugas terbesar seorang guru adalah menginspirasi siswanya agar tertarik dan menyukai apa yang akan dipelajari. Maka setelahnya adalah kerja mudah dalam membaca, memahami dan mengaplikasikan pengegahuan dari buku-buku bahkan setelahnya bisa terbersit pertanyaan kritis akan pengetahuan yang telah ada serta memformulasikan hipotesa baru. Jika hanya membacakan apa yang tertulis di buku, merapalkan dan menguji, maka kita cukup butuh juru tulis dan lulusan sekolah menengah, bukan guru. Rasanya juga para pendidik mungkin bisa belajar soal 'golden circle' dari simon senek. Teorema yang telah diaplikasikan oleh perusahaan-perusahaa  internasionala seperti apple. Yang apple jual buat hanya sekadar feature-feature terbaik dari produk mereka, tapi yamg mereka jual  adalah inovasi. Mereka menjual urgensi seseorang untuk membeli barang mereka. Bahkan sebuah urgensi yang dapat secara signifikan mempengaruhi kehidupan. Itulah kenapa mereka amag sukses dengan ipad padahal gadget sejenis telah dikeluarkan oleh pda beberapa tahun sebelumnya. Tapi bahkan tidak ada yang tahu atau mengingatnya. Jikalau saya lihat, pendidikan kita tak mampu menarik perhatian mayoritas siswa. Sebagian kecil memang berbeda dan istimewa dari segi pemikiran namum sebagian  besar terjebak dalam paradigma pekerja. Tanpa inovasi maka perbedaan dokter bedah dan tukang daging bisa jadi hanya lisensi. Tanpa gagasan perbedaan lulusan universitas dan pengangguran tak sekolah hanya ijazah.

Namun jika ditelusuri lebih lanjut, ada yang salah juga (mungkin) saat guru-guru itu dididik untuk menjadi pendidik. Cara yang sama telah diajarkan pada mereka. Keterjajahan pemikiran belum lepas meski (katanya) penjajah telah meninggalkan kita 51 tahun yang lalu. Pemikiran terjajah telah mendarah daging bahkan diwariskan kepada generasi setelahnya yang tak kenal penjajah secara fisik. Kemerdekaan berpikir memang lebih mahal dibanding utopia kemerdekaan itu sendiri. Tugas berat perjuangan yang diemban generasi baru saat ini adalah melakukan perubahan paradigma, membiasakan inovasi pada mayoritas pemikir yang takut pada perbaikan karena kenyamanan, dan siap untuk tidak populis dan diserang bahkan oleh orang terdekat sendiri. Saat ini mereka adalah pejuang yang zaman ini butuhkan. Dalam sunyi terus bekerja membawa perubahan, tak takut berbeda, tak takut berjuang meski sendiri.

Itulah hakikat perjuangan masa kini. Paradoksikal unik dimana dalam keramaian dunia ini tersisa jalan yang begitu sepinya. Teman sejati dan seperjalanan adalah hal yang langka sdan mahal. Persimpangan jalan terus terjadi dan memang begitulah hidup ini. Lahir dan datang sendiri kemudian akan kembali pada kesendirian. Berteman tanah bermandikan karbon dam nitrogen yang mengendap bersembunyi dari matahari.

Kita yang tak pernah menanamkan apa-apa maka kita tak akan kehilangan apa-apa. - Soe Hok Gie

Maka adalah sangat beruntungnya kaum terbaik terdahulu, generasi sahabat yang menempuh jalan juang beramai-ramai. Dipimpin oleh Rasulullah, menggenggam dunia bersama sembari memenangkan Allah di hati-hati mereka. Maka usaha kita adalah membeli teman sejati yang mahal dan langka itu dengan usaha kita. Terus teguh berjalan di setapak yang lurus dan apabila konsistensi ada di sisi kita maka suatu saat mereka yang bersimpang akan menemani kita kembali. Di jalan yang panjang, terjal, dan sepi ini. InsyaAllah.