Kaca Jendela

Hati manusia kadang bisa lebih rapuh dari sepotong kaca yang tipis. Ia bak jendela yang mempermudah pemiliknya melihat dunia luar. Maka saat ia berdebu ia hanya melihat muram di luar sana. Ia hanya melihat durja dan dunia yang kelam. Pada suatu ketika ia tak buram. Ia tak jua berdebu. Ia dapat berupa cermin yang menggoda. Ia hanya melihat pantulan dirinya yang kadang elok kadang jua bercela.

Bagi mereka yang melihat pantulan keelokan, maka tak cukup waktu di dunia mengagumi eloknya diri. Yang mereka lihat hanyalah keelokan sahaja lantas buta pada banyaknya cela. Seakan semua yang keluar dari dirinya ialah telur emas dan batu mulia. Seakan keindahannya raga dan jiwanya tiada dua. Dan tak ada yang dapat mendekati pentingnya dirinya ada di dunia. Pun ia bukan raja atau dewa tapi ia yang terpenting baginya. Bak legenda narcissus yang tiap hari habiskan waktunya mengagumi pantulan wajahnya di tepi danau yang bening. Tak ada yang dikerjakannya selain berkaca dan menghamba pada diri sendiri sahaja. Lantas setelah narcissus tiada, bersedihlah sang danau. Tiada lagi yang berkaca padanya. Saat ditanya alasannya bersedih, sang danau menjawab,"aku tak bisa lagi melihat pantulan keindahanku pada mata narcissus yang berada di tepiku." Inilah hati yang seperti cermin yang memantulkan yang elok-elok saja dari diri.

Kemudian, ada jua yang memiliki hati seperti cermin namun hanya terlihat cela dan buruk rupa sahaja. Siang malam berlalu hanya untuk bermuram durja akan keburukan dan kesalahan yang dipunya. Tiap kesalahan hanya memperburuk susana cermin dan lambat laun menghancurkan sang empunya. Beberapa terkadang tergoda mengambil jalan pintas memutus asa nya di dunia. Tak tahan tiap waktu melihat kesalahan saja lantas mereka kembali padaNya lewat cara yang hina. Beberapa hamya terpuruk tak bergerak pun berusaha kekuar dari jurang kelam dan gulita malam. Sebahagian ini bersebab karena  tak mampu menerima bahwa tak ada yang sempurna. Kaca terjernih pun pernah berdebu.

Lantas, kaca apa yang paling baik ?

Maka ialah kaca yang selalu dibersihkan. Ia bukan kaca yang bersih semenjak diciptakan. Ia adalah kaca yang terus sadar bahwa debu-debu bisa menempel dan pemiliknya harus rajin-rajin membersihkannya. Rajin-rajin menyadari bahwa terkadang ia tak jernih lagi hingga perlu dibersihkan. Agar ia dapat menjadi jendela bagi jiwa. Agar ia dapat menyerap dan mensyukuri semua keindahan diluar sana dan bersabar dan belajar akan hikmah dari semua keburukan diluar sana. Pun ia juga harus terus dikuatkan bangunnya seakan kaca tahan peluru. Karena pasti banyak hal diluar sana yang bisa jadi menghancurkannya. Ia harus tahan panas, dingin, hujan, badai hingga bahkan batu dan peluru. Ia tebal, kuat namun jernih dan melewatkan cahaya.

Janganlah ia hanya kuat dan tebal sahaja lalu buram. Ini sesungguhnya lebih buruk karena cahaya akan lebih sulit masuk kedalamnya. Hikmah dan keindahan takkan mampu melewatinya. Bersabarlah membersihkannya. Teguhlah menguatkannya. Lapis demi lapis terus bertambah meski butuh waktu lama. Dan apabila akhirnya pecah jua, janganlah sedih pun bermuram durja. Kumpulkanlah ia pelan-pelan dan rekatkan kembali. Pecahan itu kan membekas namun tak apa, cahaya kan masuk jua pada akhirnya. Janganlah terlalu lama membiarkannya terserak hinhga jiwa tak ada pelindungnya. Dari jendela yang pecah dapat masuk panas, hujan, badai, kotoran hingga peluru-peluru tajam. Yang akan merusak jiwa dan dapat membekas selamanya.

Karena itu kawan, apapun yang terjadi pada kaca jendelamu, cepatlah perbaiki. Cepatlah menjadi jernih dan cepatlah menjadi kuat dan tebal kembali. Karena kami merindukan saat-saat kami mengintip dari jendela kami melihat jendelamu yang begitu elok dan jernih dan betapa indahnya isi dalam jendelamu itu. Kami merindu untuk menjadi kagum atas kebaikan-kebaikan yang ada pada sisimu.

Cepatlah rekatkan kembali kaca jendela itu. Lantas mari bersama kita lihat pada berbagai kemungkinan yang ada di luar sana, pada berbagai harapan yang bisa diberikanNya, dan pada berbagai hikmah yang bisa diajariNya pada hambaNya.

Because, there's more to life than just sitting in the dark.

                                           *****

Maidany - Kaca Yang Berdebu

Ia ibarat kaca yang berdebu
Jangan terlalu keras membersihkannya 
Nanti ia mudah retak dan pecah 

Ia ibarat kaca yang berdebu 
Jangan terlalu lembut membersihkannya 
Nanti ia mudah keruh dan ternoda 

Ia bagai permata keindahan 
Sentuhlah hatinya dengan kelembutan 
Ia sehalus sutera di awan 
Jagalah hatinya dengan kesabaran 

Lemah-lembutlah kepadanya 
Namun jangan terlalu memanjakannya 
Tegurlah bila ia tersalah 
Namun janganlah lukai hatinya 

Bersabarlah bila menghadapinya 
Terimalah ia dengan keikhlasan 
Karena ia kaca yang berdebu
Semoga kau temukan dirinya
Bercahayakan iman

Balada Sang Diri

Malam semakin tega rupanya. Dingin yang menghujam hingga tulang menyerang pemuda berbaju tipis yang sedang menyendiri di angkot Ciroyom-Sarijadi. Pemuda itu kabarnya habis pulang mengaji.

Takdir begitu keras rupanya. Kita yang sering terlupa betapa teguhnya realita. Begitu tersadar sudah tertampar sahaja olehnya. Lalu lunglai dan hanya mampu bermuram durja.

Bulan februari yang baru setengah jalan, namun uang kiriman yang telah habis lebih dari separuh bahagian, sedang musibah terus datang menggembungkan pengeluaran.

Dilain sisi, rasa ingin mandiri begitu membuncah. Dua puluh dua tahun hidup dan masih bergantung manja pada orang tua. Anak rantau minang yang biasanya terkenal akan kemandiriannya di negeri orang. Sedang diri ini berkebalikan. Siapa pula yang tahan ?

Usaha-usaha sepertinya belum banyak buahnya. Sebahagian besar bahkan tak jelas kabarnya. Sedang disana sini amanah lain telah menunggu untuk ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Maka diri yang hina ini teringat lagi pada nasihat baginda Rasulullah yang mulia. Bahwasanya hidup hanyalah dihadapi dengan syukur dan sabar sahaja. Syukur tak hanya disaat senang dan sabar tak hanya disaat sulit. Sabar ialah bentuk syukur atas nikmatNya berupa ujian dalam keadaan yang menyusahkan jiwa dan raga. Pun syukur ialah sebentuk sabar akan karuniaNya pada keadaan yang menyenangkan jiwa dan raga.

Wahai diri, keberkahan tak berarti menjamin hidup ini tanpa pahit dan gulana. Keberkahan dapat hadir pada mereka yang jalani derita dengan sabar mengiringinya. Keberkahan dapat hadir pada mereka yang diuji dengan kesenangan namun syukur yang dilakukannya.

Maka pada siapakah yang lebih pantas jiwa dan raga ini disandarkan ?

Bukan, bukan pada orang tua. Bukan jua pada diri sendiri sahaja. Bukan juga pada atasan pun pimpinan. Bukan jua pada panutan.

Hanya pada Allah semata lah diri ini harusnya berserah.

Ini adalah saat dimana diri ini berusaha berniaga namun tak banyak didapat justru musibah datang membawa hutang. Ini adalah saat dimana diri ini berharap mewujudkan mimpinya menjadi ahli ilmu namun justru dihempaskan oleh realita. Ini adalah saat dimana diri ini mencoba memperbaiki akhlaqnya namun terus jatuh pada perangkap yang sama.

Namun pun ada yang dapat dipelajari dari diri ini ialah, bahwa diri ini masih diberi kesempatan untuk bangkit dan terus berusaha. Pada apapun yang dikehendakinya. Lantas berusahalah sekuatnya, lalu berserahlah selepas-lepasnya hanya padaNya.

Tidak ada yang dapat mengalahkan kita kecuali Allah semata - Indra Sjafri