The Said bin Zaid

     Tak harus tampil dan terlihat untuk menggapai surga ilahi. Tak harus menjadi terkenal apalagi meniatkan untuk itu. Adalah soal analisa. Adalah soal berpikir matang-matang soal apa yang dibutuhkan, bagaimana kemampuan, dan apa kekurangan.
     Apa yang ada hingga sekarang ini; agama ini; dibangun oleh jutaan bahkan miliaran entitas yang tak dikenal namanya, jutaan badan yang terkubur tak bernisan, jutaan nama yang tak muat bahkan tak cukup untuk ditulis dalam buku sejarah, jutaan pribadi yang tak cukup jika bermakam di pusara pahlawan yang dipuja. Mereka fana di dunia. Mereka dilupa. Mereka tak dikenal massa. Tapi mereka kekal di sisi Allah SWT.

Ada yang berjuang demi puja puji manusia
Ada yang berjuang demi pundi-pundi harta
Ada yang berjuang demi kepuasan jiwa
Ada yang berjuang demi sanak keluarga
Ada yang berjuang karena pernah terluka


     Dalam papa ku, dalam bodohku, tapi rasanya mereka yang paling menarik ialah mereka yang berjuang karena Allah semata.
     Tak terbias. Tak tercemar. Tak tergoyah. Hanya untuk Allah semata.
Meski semua bersatu menjatuhkannya, badannya mungkin jatuh, tapi tidak hatinya.
Ia bak roda gigi mungil, namun vital. Menggerakkan roda zaman yang terputar indah dan tampil elok dari luar. Lenggak-lenggok menawan; bunyi tik tak tuk saat roda bergerak melaju; roda gigi atau roda, hanyalah soal takdir.
     Dan sejarah, tak kurang manisnya. Salah satu kisah berhikmah terbaik adalah soal Said bin Zaid. Adik ipar sekaligus sepupu Umar bin Khattab ini adalah salah satu dari 10 orang yang disebutkan Rasulullah telah dijamin masuk surga. Sembilan yang lainnya telah jelas amal-amalnya, keshalihannya, perjuangannya bahkan tersematkan julukan khusus pada mereka. Hanya saja, apa yang dilakukan Said bin Zaid yang karenanya ia mampu dipanggil bersama dengan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zubair, Abdurrahman bin Auf, dsb ? Bahkan tak lengkap catatan sejarah serta pengakuan sahabat soalnya. Tapi Allah tahu. Ada amalan-amalan luar biasa dari orang yang luar biasa juga yang cukup hanya untuk Allah saja.
     Ada yang menjadi batu bata, yang terlihat kokoh dari luar bangunan peradaban ini. Namun ada juga yang menjadi paku yang menyatukan pasak-pasak dan penguat kerangka bangunan ini. Ada yang jadi fondasi menghujam dalam dibawah tanah, mendasari bangunan kokoh tadi. Yang tersembunyi tapi amatlah penting juga. Soal peran, hanyalah soal takdir. Dan kerendahan hati.

Bandung, dua puluh satu agustus dua ribu lima belas.

Obrolan Soal Mati

Ucapan beliau kemarin masih terngiang di telingaku.

"Para sufi menghendaki mati secepatnya. Agar tak bertambah dosanya. Dan agar lekas bertemu Tuhan yang dicintainya." Begitu katanya.

Maka pertanyaannya yang renyah lagi menarik itu menggema lagi di kepalaku, yang sedang tersandar muram di sudut paviliun mahasiswa di rumah sakit itu.

"Apa engkau mau mati saat ini ?"
"Jika engkau mati saat ini, apakah menurutmu engkau akan masuk ke dalam surga ?"

Aku menjawab, aku hendak mati pada saat yang tepat. Tak hendak lebih cepat, tak juga lebih lambat.

Beberapa menjawab, mereka tak hendak mati saat itu juga, karena belum menikah. Lalu aku juga terlongsong mengakui hal yang sama.

Lantas beliau menanggapi, bahwa kesenangan menikah itu jauh lebih baik di alam sana nanti, berkali lipat disini. Pun begitu soal yang lainnya. Soal pencapaian hidup. Soal harta benda. Dan segala soal kesenangan dunia lainnya. Maka dari logikanya, beliau menyimpulkan maka secepatnya sajalah kita bertemu sang pencipta, karena dunia ini fana dan sementara.

Benar tidaak ? Dengan logat sumatera, terdengar jelas dari caranya menyebut akhiran "k" yang ditekan dan diberi intonasi. Kalau ini penyakit, maka ucapan konfirmatif ini adalah patognomonik beliau. Kalau ini tren, maka ucapan ini adalah 'trade mark' beliau.

Tapi rasanya aku tetap tak setuju. Bahwasanya hidup di dunia tak hanya soal kesenangan saja. Bahwasanya tak hendak mati cepat bukanlah soal keterikatan akan kenikmatan dunia. Justru ia adalah bentuk upaya dan pengharapan. Menikah kata Rasulullah akan membuat seorang muslim/muslimin meraih separuh agamanya (HR Muslim). Betapa luar biasanya, menikah, apabila karena Allah, hebatnya hingga menjadikan agama lengkap hingga separuhnya. Maka menikah adalah juga soal beribadah. Kenikmatan adalah sebuah tambahan dan bawaan dari ibadah ini. Dan setelahnya menunggu amalan-amalan luar biasa bagi muslim/muslimin. Membahagiakan isteri, berbakti pada suami, mendidik isteri, mengasuh anak, mendidik anak, mengajarkan anak beramal shalih, hingga nanti didoakan oleh anak. Sebagaimana doa anak yang shalih akan menjadi amal yang tak akan terputus meski telah tiada nanti.

Dan hakikatnya, mati cepat tak menjaminkan surga. Hanya menjaminkan takkan bertambah dosa lagi. Tapi tak juga menjamin amalan selama ini cukup memasukkan ke surgaNya. Lantas hidup sepenuh-penuhnya hidup adalah soal membeli tiket menuju surga ilahi. Karenanya perlulah direncanakan, dilakukan, dievaluasi dan diperbaiki hingga tercapai tujuan. Pun jika mati di tengah perjalanan menuju pencapaian amalan unggulan masing-masing yang membuahkan surga, itu tak masalah. Allah tetap menghitung dengan adil. Yang jadi soal adalah mati tanpa sempat berencana. Mati tanpa sempat menyadari misi hidup ini.

Dua puluh delapan agustus dua ribu lima belas, sebuah obrolan dengan guru kami, di sudut rumah sakit utama di kotanya Muhammad Toha, didokumentasikan oleh murid nan banyak celanya, tertawan hatinya, ceroboh ucapnya. Saya.