Dua Sisi Mata Uang

Akhir-akhir ini aku makin berminat untuk menulis. Sebagai latihan atas apa yang sedang kupersiapkan, dan sebagai teguran atas sebuah kisah inspiratif. Sebuah teguran pada sikap dan pemikiranku yang selama ini keliru. Bahwa diam dan bekerja tak selamanya benar. Apalagi diam dan terlena dunia saja, tanpa produktif berkarya. Seperti ungkapan dari sebuah iklan rokok, yang berbunyi:

Talk less do more

Menurutku, yang baik sejatinya ialah

Talk more do more

Ada poin penyampaian hikmah, ada poin mentranslokasikan hidayah yang telah didapat dalam kehidupan sehari-hari, dan ada poin soal berbagi dalam menulis. Seperti sebuah kisah yang menggugahku untuk mulai berani menulis lagi. Begini kisahnya;

Pada suatu saat di sebuah mesjid di Amerika, kaum muslimin hilir mudik dan ramai beribadah semampunya. Mereka Shalat dengan khusu'nya dan kemudian berzikir, berdoa dan melaksanakan shalat sunnah setelah shalat wajib. Namun, tiba-tiba seorang pria berdiri. Pria tersebut lantas maju ke pengeras suara, lantas ia membacakan surat Al-Fathihah dari awal hingga akhir. Setelahnya ia pun keluar dari mesjid. Sang Imam mesjid pun terkejut akan tingkah pria itu, kemudian ia menyusul pria itu, dan bertanya," wahai saudaraku, jika boleh aku bertanya, mengapa engkau barusan maju ke depan dan membacakan surat Al Fathihah dengan pengeras suara ?"

Pria itu menghela nafas, kemudian dengan linangan air mata ia pun menjawab,"Saudara Imam, aku baru saja dapat hidayah menjadi seorang muslim. Dan aku mendengar hadis Rasulullah berkata bahwa jika kita berilmu maka sampaikanlah walau meski hanya satu ayat. Aku tak memiliki ilmu apa-apa, namun aku sudah hafal surat Al-Fathihah. Karenanya, meski tak seberapa, namun aku hendak membagikan Al-Fathihah ini sesuai dengan perintah Rasulullah."

Semoga kerahmatan Allah terus membersamaimu, wahai saudara seiman.

Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Enstein, maka pengalaman demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen itu tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong - ini pendapat Enstein - maka pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat apa pengalaman yang sama tadi memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain - Andrea Hirata, Edensor

Maka pengalaman, laiknya waktu yang relatif, yang hendak kukabarkan ialah pengalaman akan dua guruku. Mereka ibarat dua sisi mata uang, berkebalikan namun satu kesatuan. Takdir menghantarkanku bertemu dengan dua orang guru yang luar biasa budinya, begitu juga luar biasa berbedanya. Mereka merupakan guru dengan profesi yang sama, dokter bedah. 

Yang satu, seorang Perwira tinggi sekaligus dokter, pangkatnya mungkin tertinggi seantero Rumah Sakit itu. Tapi dengan rendah hatinya, ia hanya menjalankan tugas pelayanan seperti biasanya. Umumnya pria sekaliber itu tengah mengepalai sebuah daerah militer atau memimpin pasukan. Tapi dia tidak. Ia tegas, ia disiplin. Tak pernah sekalipun kulihat ia datang lebih lambat daripada kami, sekalipun. Ia tegas pada siapapun, termasuk pada pasien. Tanpa kompromi, apakah seorang sipil atau bahkan pejabat dan pasukan khusus sekalipun, tak dibedakannya. Tak didahulukannya yang satu pun tak diakhirkannya yang lain. Di sela-sela mengobati, tak sungkan ia berpaling pada kami dan menekankan banyak hal yang krusial bagi kami setelah lulus nanti. Meski mengurangi efisiensi kerjanya hingga separuhnya, tak apa baginya. Pelan-pelan ia ajarkan kami dan amat jauh dari kesan militer yang menempel pada pangkatnya. 

Pun ia juga tak ragu bercerita soal kisah hidupnya. Setelah lulus dan menjadi dokter, ia langsung ditempatkan di daerah amat terpencil oleh Angkatan. Ia mengaku berjuang keras disana. Transportasi sulit dan kondisi geografis tak memungkinkan untuk pasien segera dirujuk. Bermodalkan buku, ilmu serta keterampilan yang didapatkannya semenjak kuliah, segala tantangan kesehatan ia hadapi dengan tenang. Ia tangani hal-hal yang harusnya menjadi kompetensi Internis, Pediatrisian dan Ahli Kebidanan Kandungan. Segala hal ini masih dapat dipelajari dan dikuasai dari buku, begitu akunya. Namun, ia menyerah pada kasus-kasus bedah. Kondisi geografis yang sulit mengharuskannya mencoba menangani sebisanya atau nyawa pasien gantinya. Ia coba lakukan seperti halnya kasus lainnya, ia perdalam keilmuan tersebut via buku. Namun ternyata tak sesederhana itu, buku tak cukup mengatasi persoalan keterampilan, variasi, kondisi anatomi nyata dan efisiensi kerja. Ia mengaku karena saking daruratnya, ia pernah melakukan laparatomi. 

Lantas setelah selesai masa tugasnya, ia kembali ke Bandung. Ia temui gurunya dahulu, seorang Professor yang kini telah lama berpulang. Ia ceritakan kisahnya, bagaimana kasus bedah menghalanginya dari menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter. Professor ini, tergugah oleh kisahnya. Lantas beliau membawanya pada kepala bagian bedah Universitas Padjadjaran saat itu. Ia berkata," Dok, ini dokter L harus diterima sebagai peserta didik spesialis Bedah ! Kondisi di daerah amat memprihatinkan dan dia dibutuhkan disana. Jika dokter tidak mau menerima dokter L, maka dokter yang harus bertanggung jawab atas kondisi kesehatan disana. Dokter yang harus kesana. Dan dokter L akan ikut saya selama 2 tahun, saya akan didik dia jadi dokter bedah tanpa perlu institusi dan brevet !"

Begitu tegasnya ucapan professor itu. Sang kepala bagian, yang juga salah seorang murid dari Professor ini tak bisa berkata apa-apa, lantas diterimalah guruku disana. Yang menarik juga ialah, bahwa dalam proses pendidikannya, saat itu begitu banyak terjadi konflik di Indonesia. Ia yang saat itu belum selesai sekolahnya telah diminta untuk membantu di daerah-daerah konflik tersebut. Di tahun-tahun akhirnya ia sama sekali tak berada di Bandung, ia telah bermanfaat di daerah-daerah sana membantu Angkatan Bersenjata, disaat rekan-rekannya yang lain sedang sibuk memikirkan tugas akhir. 

Setelah konflik selesai, ia pun kembali melanjutkan sekolahnya dengan membawa pulang segudang pengalaman dan hikmah. 

Terbiasa bekerja di daerah konflik yang amat berkekurangan, berasal dari Angkatan Bersenjata, maka hal-hal ini membentuk karakter serta etos kerjanya. Ia efisien, cepat, hemat, berorientasi pada efektifitas, dan adaptatif. Ia tak banyak mengeluh dan menggunakan segala bekal yang ada. Pekerjaannya salah satu yang tercepat yang pernah kulihat. Tak banyak basa-basi, tak banyak gerakan-gerakan tak bermakna. Mahir, cekatan, dan tepat guna. 

Yang seorang lagi tak kalah luar biasanya. Ia adalah seorang seniman. Pekerjaannya didasarkan atas niat memberikan yang terbaik bagi semua pasiennya tanpa terkecuali. Bahwasanya tiap pasiennya memiliki hak yang sama atas waktunya, ilmunya, dan kemampuannya. Maka mereka yang berhak itu tak pantas diburu-burukan, tak layak dikerjakan asal-asalan, tak lazim dipikirkan bersambilan dengan hal lain. Tiap mereka spesial dan berhak atas waktunya. Maka ia mendengarkan dengan cermat dan sabar, mendiagnosis dengan tenang dan penuh pertimbangan serta mengerjakan dengan telaten dan teliti. Terkadang terlihat di sana sini beliau mengeluh soal instrumen yang di bawah standar. Tapi ini semua demi kebaikan pasiennya. Instrumen yang di bawah standar berpotensi merugikan pasiennya, maka hak pasien itulah yang terus diperjuangkannya. 

Pun soal mengajar ialah salah satu kesenangannya. Tak pelak telah beredar rumor semenjak dahulu soal beliau, betapa pulang hingga larut malam dari rumah sakit angkatan bersenjata itu adalah ciri khas dan tak dapat dielakkan. Tapi ia membimbing dengan sabar, telaten dan amat menyenangkan. Pun sesekali kami perhatikan karena membimbing kami beliau terlambat praktik di tempat lain, terganggu waktu makannya - padahal belumlah ada sesuap nasi ia rasakan semenjak pagi, terkadang datang telefon dari keluarganya dan kerabatnya, namun semua di nomor duakannya. Lantas ia memprioritaskan kami. 

Bimbingannya pun istimewa, dan totalitas. Tak terhitung rasanya entah berapa jurnal yang telah ia baca, entah telah berapa puluh tahun lamanya ia membaca soal anatomi, fisiologi, patologi, histologi, mikrobiologi dan farmakologi tapi masih jelas di ingatannya soal hal-hal tersebut. Pun diatas kusebutkan ia adalah seniman, tercermin jua dalam caranya mengajar. Ia senang menggambar, maka ia jelaskan semua hal soal Appendisitis, Hernia, Hemorroid, dan Ileus dengan gambarnya yang tak kalah dengan buku anatomi manapun. Ia ceritakan dengan cara-cara yang mudah dimengerti, sederhana namun padat lagi jelas. Di sela-selanya ia selingi dengan humor dan kisah-kisah inspiratif soal masa lalunya. 

Dan yang paling luar biasa, ia adalah seorang pria berusia 61 tahun. Ya, enam puluh satu tahun. Memang kini tangannya tak secepat biasanya atau masih kalah dibanding dokter bedah yang lebih muda. Tapi tak diragukan lagi bahwa hasil kerjanya luar biasa. Rapih, runut, tenang, komprehensif dan artistik. Belum pernah rasanya kulihat operasi seindah ini. Tak ada kesan buru-buru, tidak matang, ceroboh dan meremehkan. Setiap operasi adalah tantangan yang khusus dan perlu penanganan serta perhatian khusus tak peduli entah berapa ribu kali ia telah melakukan prosedur yang sama. 

Kisah-kisah perjuangannya saat muda tak kalah menggugahnya. Ia bukanlah anggota Angkatan Bersenjata, tapi Ayahnya. Dahulu pria sebenar-benar pria ini, para pembela negara, tak semakmur saat ini. Ayahnya adalah orang yang berhasil menangkap (alm) Kartosuwiryo dan mengakhiri perang saudara waktu itu, namun kebaikan hatinya memperlakukan sang pemimpin pemberontak yang ditangkapnya menimbulkan banyak fitnah dari kiri kanan. Entah bagaimana hidupnya saat itu, tapu kutahu tidak mudah. Saat berkesempatan kuliah di jurusan kedokteran, disaat mahasiswa lain sibuk belajar ini itu di siang hari, ia justru sibuk bekerja sebagai tim dekorasi di hajatan sana sini. Malamnya, saat mahasiswa lain terlelap dengan puas, ia yang tak mampu membeli buku-buku kedokteran hanya bisa menumpang membaca di rumah temannya. Saat tengah malam ketika buku-buku itu sedang tak dipakai pemiliknya. 

Kisah-kisah ini adalah bagaikan letupan-letupan cahaya di kereta Enstein. Hampir tiap dokter muda yang dibimbing oleh mereka akan merasakan dan mendengarkan paparan yang kudapatkan. Maka pertanyaannya, seberapa jauh tiap pribadi itu mengambil hikmahnya. Dan aku, hendak mengabadikan hal ini dalam sebuah cerita agar dapat kupelajari lagi letupan-letupan cahaya ini. Dua pribadi yang laiknya dua sisi mata uang yang berlawanan, masing-masingnya memiliki karakternya sendiri. Tapi selalu ada hal yang dapat dipelajari dari sisi manapun. 

Laiknya kisah Hamka, saat ditanya oleh seseorang; 

"Wahai tuan Hamka, aku telah berziarah ke Mekkah. Tanah yang katanya suci itu, namun tak diduga masih dapat juga kutemukan pelacur disana."

Hamka menjawab dengan tenang,"Wahai tuan, aku pernah mengunjungi Amerika Serikat. Tapi ternyata tak kutemukan pelacur disana."

Kita hanya akan menemukan apa yang kita cari. Di kota sesuci Mekkah sekalipun jika kita meniatkan mencari seorang pelacur maka bukan tak mungkin kita temukan. Sedang di Amerika jika kita tak meniatkan mencari pelacur maka tak akan kita temukan. Begitu jua soal bumi manusia. Selalu ada yang dapat dipelajari dari setiap insan yang kita temui. Pasalnya, apa hati kita cukup tenang mengambil hikmahnya, karena tak semua hikmah muncul dengan tampilan baik. 

Bandung, dua puluh lima Oktober dua ribu lima belas. 


Argumentasi Hebat para Syuhada

    Alisnya yang putih sibuk mengkerut bersama kulit dahinya yang tipis. Ya, Dia terlihat sedang berpikir hebat soal sebuah materi yang, jika boleh kugunakan bahasaku sendiri, "setengah matang" itu. Di sebuah fakultas filsafat-dulunya fakultas teologi, yang membahas soal filsafat kematian.
    Pria tua yang tak hanya alisnya, namun rambut dan kumisnya juga telah memutih itu, pun sepertinya hanya Aku yang tahu di ruangan itu, adalah salah seorang yang paling mengerti soal kematian lebih dari siapapun di Bandung Raya bahkan Jawa Barat ini. Setidaknya secara fisik. Telah banyak lembaga yang meminta bantuannya bertahun-tahun lamanya. Tak sebentar pula ia duduk di kursi itu, kursi tertinggi di departemen forensik terbaik di Jawab Barat, bahkan salah satu yang terbaik di Indonesia. Maka tak dapat di pungkiri, beliau adalah salah satu orang yang paling mengerti soal kematian bahkan seantero Nusantara.
    Malam itu, seorang romo-aku tak tahu apakah ini gelar spiritual ataukah hanya panggilan saja- sedang bercerita satu arah, tanpa alat bantu apapun, soal filsafat kematian menurut Elisabeth-Koebler Ross. Jika ada yang senang atau ahli dalam ilmu kejiwaan, tentu tahu proses pertahanan jiwa saat menghadapi situasi krisis yang berpengaruh besar dalam hidup. Proses itu ialah : Denial, Anger, Bargaining, Depression dan Acceptance. Nah, Elisabeth-Koebler Ross adalah orang yang menemukannya, dari riset yang ia lakukan saat menjadi mahasiswi kedokteran paska perang dunia ke dua. Yang kemudian ia bukukan dengan judul "On Death and Dying" (1969). Buku yang tak hanya populer namun menghadiahkannya lebih dari 20 gelar dokter honoris causa dari berbagai universitas terkemuka di dunia.
    EKR berteori bahwa kematian adalah sebuah proses psikosomatis. Proses ini diawali oleh adanya perubahan kejiwaan yang dapat saja tak terlihat hingga bahkan dapat juga berupa ilusi, halusinasi dan delusi. EKR mengetahui ini saat meneliti pada pasien-pasien penyakit terminal di Rumah Sakit Akademi Chicago. Lalu Romo itu menjelaskan, bahwa pada pasien-pasien yang diberitahu soal prognosis kematiannya yang buruk, maka mereka akan menghadapi 5 proses diatas. Meski tak selalu kronologis dan eksklusif, bahkan lengkap, tapi dipercaya bahwa setidaknya semua akan menghadapi fase denial dan fase depresi.
    Tak banyak waktu yang diberikan untuk tanya jawab dan sejujurnya, materi ini tak lebih hanya uraian dari buku yang dibaca oleh romo tersebut, yang mohon maaf saya tak ketahui latar belakang akademiknya sama sekali atau relevansi apa yang ia punyai hingga ia pantas berbicara di depan soal mati.
    Disana sini banyak asumsi asumsi dan beberapa kuketahui celanya. Kuketahui tak benarnya. Terlebih soal medis kematian. Namun, mispersepsi-mispersepsi itu sedikit banyak makin menguatkan keyakinanku soal apa yang sejatinya benar. Soal pemikiran unik para ahli teologi, di satu sisi menemukan ilmu pengetahuan yang luar biasa soal dunia sedang di sisi lain segala kepercayaannya bertentangan dengan pengetahuan tersebut. Mereka yang pragmatis, jujur dengan hatinya bahwa salah adalah salah, dan beralih menjadi ateis, meski tak mampu menjelaskan banyak hal juga. Sedang mereka yang melankolis, tak tega meninggalkan kepercayaannya begitu saja meski tertolak sedemikian rupa oleh akalnya. Mereka ini, sebagian besar menjadi sekularis. Sisanya, sepertinya, menjadi tak acuh. Atau berada dalam ketidaktahuan.
    Kembali soal fase pre kematian menurut EKR. Riset awal saat ia mahasiswa diperbaiki dengan roset terbaru dengan jumlah sampel sebanyak 200 orang. Menghasilkan kesimpulan yang serupa.
Agenda seminar itu selesai, dan tinggallah aku berdua dengan beliau, guruku yang luar biasa itu, di parkiran kampus nan mungil di salah satu sudut belantara Bandung Raya. Betapa takjubnya diriku, bahwasanya rasanya ilmunya jauh melebihi romo itu, soal apapun yang ia sampaikan. Tapi ia masih begitu rendah hati tetap ikhlas menerima ilmu dari siapapun tanpa pandang bulu. Bahkan dari jejaka tak berilmu sepertiku, ia tetap mendengarkan dengan tenang semua argumentasiku. Diskusi kami berjalan panjang dan berlanjut pada sebuah kios Sate Padang di pelataran gedung-gedung antik daerah Cikapundung.
    Ia dan aku sama-sama setuju, bahwa studi EKR amat rendah reliabilitasnya. Dari jumlah sampelnya yang amat kecil, sampel yang amat homogen yakni penderita penyakit terminal di sebuah rumah sakit saja, rasnya yang sama, agamanya yang sama, kondisinya yang hampir mirip, serta beberapa variabel penting yang ia pilih untuk tak diacuhkan seperti kondisi kejiwaan sampel, status sosio ekonomi, mentalitas, usia, jenis kelamin, dan sebagainya.
     Tentulah hal ini masih tak diketahui apakah sama untuk seluruh orang di rumah sakit lain apalagi untuk yang tidak di rumah sakit atau bahkan di negara lain.
    Kemudian, betapa kuatnya terlihat pengaruh Sigmund Freud terhadap pemikiran EKR. Dari 5 proses ini terlihat bahwa EKR mengasumsikan bahwa kematian ialah antitesis kehidupan. Kematian, sebuah proses yang tidak mengenakkan dan ditakuti.  Sebagaimana setiap proses itu laiknya didasari oleh pemahaman ego, id dan superego Sigmund Freud. Bahwa kematian tak disenangi terbukti bahwa EKR berpendapat bahwa tiap manusia akan menolaknya. Denial. Yang ditolak umumnya yang tidak disukai. Jelas disini ego mendominasi. Kemudian reaksi berikutnya adalah marah. Marah setelah paham bahwa hal ini yak dapat ditolak, dan jelas sekali marah adalah bagian dari ekspresi ego juga. Berikutnya menawar, yang masih didasari oleh rasa yang hendak senangnya saja. Kemudian saat tahu bahwa penawaran tak ada gunanya, ego itu mulai melemah dan timbulah depresi. Hingga suatu ketika nanti ego dikalahkan oleh id maka muncul acceptance.
    Namun bagaimana dengan realita-realita begitu banyak yang tak menghadapi hal ini semua menjelang kematiannya ? (Tentu bukan soal kematian mendadak) begitu banyak contoh-contoh yang hanya melewati acceptance saja. Mereka-mereka yang luar biasa dalam sejarah bahkan tak menakutinya sama sekali, bahkan tak mengganggap kematian sebagai antitesis kehidupan. Mereka menganggap bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan. Sebagaimana kelahiran. Maka lawannya kematian bukanlah kehidupan melainkan kelahiran. Mereka menerima fakta ini matang-matang, dan bukannya pasrah atau putus asa namun menghadapi dengan berani, bahkan dengan senyuman di pipi.
Semua ini sejatinya berasal dari bagaimana kita memandang kehidupan. Beberapa, bahkan tak sedikit jumlahnya, memandang kehidupan adalah soal kesenangan dan kenyamanan. Berusaha keras dalam hidup hanya agar senang. Hedonis. Dan hal inilah yang mendasari pemikiran Ego, Id dan Superego Sigmund Freud. Bahwasanya ego manusia adalah untuk senang-senang saja, maka harus dikendalikan dengan Id dan Superego agar tidak menyebabkan masalah dengan yang lainnya. Maka, bagaimana jika ternyata ada hal yang lebih dari sekadar kesenangan dalam hidup ?
     Orang-orang besar, yang bahkan menyongsong kematian yang diketahuinya dengan senyuman dan semangat, yang aku sebutkan diatas, ialah para syuhada. Para syuhada menafikkan segala teori Elisabeth-Kobler Ross soal kematian dan teori Sigmund Freud soal kehidupan.
     Para syuhada, orang-orang berilmu dan beramal shalih tak dapat didefinisikan oleh teori-teori ini. Ada hal yang lebih dari sekadar mencari kesenangan. Esensi hidup mereka berbeda. Mereka hidup atas alasan penciptanya, yakni penghambaan. Pengabdian total. Setiap hembusan nafas, setiap detak jantung, setiap detik adalah untuk menggapai keridhoanNya. Maka pleasure seeking oriented life, tak menjaminkan kebahagiaan. Bahagia hanya tak saat senang saja tapi dapat dicapai meski sedang susab sekalipun. Bahagia bagi mereka adalah soal menggapai keberkahan ilahi dalam susah senangnya mereka. Ketidakbahagiaan ialah saat diri terlena dalam maksiat dan dosa dan menyebabkan sesal merangsek di hati. Kebahagiaan dapat hadir meski dalam musibah asal apa-apa yang dikerjakan sesuai dengan Syariat. Bagaimanapun hasilnya.

Tujuan hidup tak hanya sekadar kesenangan.
"What can my enemies do to me? I have in my breast both my heaven and my garden. If I travel they are with me, never leaving me. Imprisonment for me is a chance to be alone with my Lord. To be killed is martyrdom and to be exiled from my land is a spiritual journey" - Ibnu Taimiyyah

Terjemahan bebasnya;

"Jika aku dipenjara maka ini kesempatanku mendekatkan diri pada Allah. Jika aku dibunuh maka ini kesempatanku Syahid di jalan Allah. Jika aku diasingkan maka ini kesempatanku berjalan diatas bumi Allah" - Ibnu Taimiyyah


    Piring plastik yang beralaskan daun pisang itu telah habis. Beberapa waktu yang lalu ia penuh terisi oleh kuah kental lagi coklat, lidah sapi yang dimasak dengan gurih dan ketupat nasi yang padat lagi putih bersih serta kerupuk merah balado. Waktu menunjukan pukul 22.30 WIB. Telah cukup lama kami berdiskusi tanpa sadar soal waktu. Dan lagi seperti biaya seminar yang tak tanggung mahalnya itu, kali ini ia pun membayariku.
    Betapa luar biasanya hari itu. Sebuah hentakan akan keimananku yang amat rapuh, menyadarkan perlunya terus berbenah. Dan hentakan lain soal integritas dan kerendahan hati serta kemurahan hati juga dari seorang guru yang luar biasa. Betapa tak sedikitpun yang ia katakan tak ia kerjakan dan tak ia pertanggung jawabkan. Bila ia tak tahu atau dangkal pengetahuannya soal itu, dengan jujur ia akui. Bila ada ilmu yang dilontarkan seseorang padanya siapapun itu, ia terima dan senang hati. Dan tak segan ia mengeluarkan hartanya demi silaturrahmi dan ilmu pengetahuan serta meningkatkan keimanan.
    Setiap hentakan ini membekas di hatiku, bahkan tak mampu kutahan asa untuk mengutarakannya disini. Belum lagi kutemui orang-orang seluarbiasa ini. Laiknya berlian alam sana, yang beberapa waktu lalu kutemukan jua.

Bandung, tujuh belas oktober dua ribu lima belas.

Dan Akupun, Masukkan ke Dalam Daftarmu !

Setelah sekian lama lupa dan tak lagi membaca-baca soal Natsir, Hamka, Hatta, H. Agus Salim, kembali teringat soal orang besar itu. Dahulu berkesempatan membaca buku Mengenang 100 tahun Muhammad Natsir milik seorang teman, rupanya ada jua buku sejenis soal Hamka yang berjudul Mengenang 100 tahun Hamka.

Di buku itu tertulis sebuah puisi luar biasa dari seorang Hamka muda saat melihat seniornya Muhammad Natsir setelah berpidato pada sidang konstituante tahun 1957. Puisi yang menggetarkan hati nan telah banyak nodanya ini, menampar jiwa yang begitu sempit dan malas berbenah, merongrong asa yang hampir padam. Begini bunyi puisi itu;

Kepada Saudaraku M. Natsir

Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar


Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa

Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri


Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi


Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi


Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi


Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu…..!



Tol Padaleunyi, sepuluh oktober dua ribu lima belas. 

Bahasa Orang Kuat

      Hari ini, minggu ini, kutemukan lagi satu dari banyak berlian-berlian itu. Berlian alam sana yang terlalu elok dan silau ada di dunia, hingga tak sengaja mengganggu yang lainnya.
       Allah dulu, Allah sekarang, dan allah nanti. Semua ceritanya berintikan hal ini dan terus terulang, tapi entah kenapa rasanya selalu ada roman-roman tersendiri pada setiap cerita itu. Tak sedikitpun ada bosan pun sesak mendengarnya, meski hanya mengulang-ulang hal yang sama.
    Mungkin ini hikmahnya hati yang terus ternoda oleh yang bukan Allah tujuannya, betapa pengasihnya Allah menghapuskan segala prasangka-prasangka yang ternyata angin lalu semata. Aku yang terus berburuk sangka soal takdir, soal jati diri dan identitas, soal rezeki, soal masa depan dan Allah tunjukan contoh nyatanya, betapa ada ternyata manusia yang mampu melewati semua hambatan itu semua dan tampil terbaik di bidangnya, mendiamkan segala cemoohan dan hinaan dengan karya dan amalannya.
      Ia ada di lingkungan yang amat kotornya. Dalam hematku. Namun ia menolak untuk terpengaruh, tapi justru memberi pengaruh. Ia menolak untuk diam dan lantang bersuara. Ia menolak menggantungkan harapan pada siapa saja dan apapun selain pada Allah semata. Bahkan tidak pada keluarga juga.
    Ia ada di departemen itu, yang hanya beberapa sentimeter dari jurang malpraktik dan konflik kepentingan.  Aku yang semenjak kecil sudah menyaksikan konflik kepentingan dan penzhaliman atas orang yang kucintai, dan terus membekas dalam hatiku hingga menjadi luka dan noda yang memburamkanku. Ia juga sama, ditahan, dibenci, dihina, tapi apa jawabannya saat kutanya, bagaimana perasaannya soal orang-orang itu,
    Ia menjawab, "ada alasan Allah menakdirkan orang-orang tersebut bersikap begitu. Dan salah satunya adalah untuk menguji saya. Allah hendak melihat bagaimana saya menghadapi mereka. Karena Allah berjanji bahwa orang-orang yang hendak masuk surga Allah musti diuji terlebih dahulu. ("Apakah kamu mengira kamu akan dimasukkan ke surga Allah tanpa di uji terlebih dahulu ?"). Maka saya tidak akan menistakan mereka."
     Aku terdiam lama. Tak ada yang terbersit dalam otakku selain kisah soal Hamka, yang ditanyakan hal yang serupa. Hamka ditanya bagaimana perasaannya soal sastrawan besar Pramodeya Ananta Toer yang telah memfitnah hingga membuat Hamka dipenjara. Dan pada sebuah majelis nan ramai, bertahun-tahun setelah Hamka bebas, Hamka menjawab, bahwa ia sudah memaafkan Pramoedya. Seluruh peserta majelis hening dan terhenyak. Hidup Hamka yang telah terbolak-balik, istri dan anak-anaknya yang menjadi susah, kebebasannya direnggut, nama baiknya dinodai, tapi disaat diberi kesempatan melaksanakan haknya untuk mencurahkan itu semua bahkan membalas, ia justru melakukan hal yang lebih baik. Memaafkan.

Gentliness is the language of the strong. The weak failed to differentiated between rudeness and strength. - Anonymous

Bandung, satu oktober dua ribu lima belas. Sebuah catatan dari murid bodoh dan banyak tanya, atas gurunya nan luar biasa. Prof Hendro namanya.