Kepedulian, Sebuah Evolusi

Kami haturkan bela sungkawa, atas berpulangnya seorang lagi, pahlawan bangsa tanpa tanda jasa. Kesehatan dan kesejahteraan bangsa adalah kewajiban negara, maka engkau sesungguhnya berpulang saat sedang menjalankan tugas negara. Semoga engkau di terima di tempat yang sebaik-baiknya, disisiNya. 

Setelah datang berbagai macam badai, entah soal BPJS, soal dokter layanan primer, soal tuduhan gratifikasi dokter dan perusahaan farmasi, kini ada hentakan lagi. Hentakan yang berujung nyawa. Hentakan-hentakan ini membanjiri sosial media Indonesia, dengan intensinya masing-masing. Ada yang mengaitkan kesalahan minor Menteri saat salah menyebutkan kedudukan sang pahlawan, hingga dibesar-besarkan dan lantas mengasumsikan sang Menteri tak paham soal program kementeriannya sendiri. Ada yang mengait-ngaitkan dengan rendahnya gaji Internship dokter, lantas terkena ensefalitis (seakan) adalah soal gaji yang rendah. Ada yang mengait-ngaitkan dengan fasilitas dan keamanan kerja dokter, di daerah terpencil khususnya, lantas mereka semua menjadi rentan terkena penyakit berat seperti ensefalitis dan betapa (asumsinya) fasilitas buruk serta tak ada yang ahli disana. 

Sedikit banyak aku berpikir, kalau seandainya yang terkena ensefalitis di sana bukan seorang dokter, - dokter yang masih muda khususnya - yang tidak luas pergaulan sosial medianya, yang mungkin berasal dari profesi yang tidak ada organisasi profesinya, yang tidak aktif akun ofisial sosial media perkumpulan mahasiswanya, atau bahkan tidak kenal apa itu sosial media, akankah beritanya akan mencapai mata dan telinga kita ? akankah kita ketahui hal itu ?

Atau seandainya aku juga bertanya, apakah ini kasus yang pertama kalinya terjadi disana ? benarkah tidak ada sebelumnya hal yang sama pernah terjadi ? yang hanya saja bukan seorang dokter yang terkena ? apakah benar, tidak ada warga negara Indonesia juga, yang sama hak dan kewajibannya, yang meninggal karena hal yang sama ?

Wallahualam bi sawab, hanya Allah yang tahu. 

Sejujurnya, tak perlu kita sibukkan waktu dan konsentrasi Ibu Menteri pada hal-hal trivial laiknya kesalahan penyebutan. Tak perlu habis segala sumber daya untuk itu semua. Terkena ensefalitis, atau malaria serebral, atau apapun penyakit gawat lainnya, belum tentu ada hubungannya dengan gaji yang rendah. Karena gaji internship yang rendah lantas sang pahlawan dipilih oleh virus HSV atau CMV atau parasit Toksoplasma hingga beliau terkena ensefalitis, begitukah maksudnya ?

Tak elok kita mengaitkan kematian seseorang, terlebih lagi seorang pahlawan, dengan masalah kita sendiri dengan tujuan agar sekalian didengarkan oleh khalayak. Tak elok, tak pantas. Ada jalur yang benar dan tepat. Advokasi memang sulit dan memang harus oportunis agar mendapat momentum yang pas, tapi hingga membawa-bawa kematian orang lain karena hal itu ? Pikirkan bagaimana kecamuk di kepala keluarga sang Pahlawan. Seakan kita meminta mereka berpikir bahwa negara telah menyebabkan anak mereka berpulang, karena gaji yang rendah.

Kemudian, benarkah ini soal inkompetensi ? Soal fasilitas ? Mungkin benar. Namun menurut hal terakhir yang aku dapatkan bahwa beliau telah didampingi oleh dua orang spesialis penyakit dalam. Wahai teman, tahukah engkau betapa luar biasanya gelar itu ? Spesialis penyakit dalam. Minimal empat hingga lima tahun berjibaku, dan jika engkau beruntung, barulah engkau dapat mendapatkan gelar itu.

Jika memang ini masalah fasilitas, benarkah ini soal fasilitas lokal ? Bagaimana jika kukatakan, bahwa jikapun hal itu terjadi di Bandung sekalipun, belum tentu pasien selamat. Ensefalitis, terlebih stadium lanjut, harapannya amat kecil. Pun selamat, kemungkinan besar akan tetap ada defisit neurologis. Beberapa bahkan berada dalam kondisi vegetatif, dan entah berapa banyak yang tetap tak mampu meraih kesadarannya kembali. Dan bagaimana jika kuberitahukan, bahwa tempat yang diisi oleh dokter-dokter internship adalah tempat yang telah cukup lengkap, RS tipe C, yang pasti ada seorang dokter umum yang bertugas khusus mengawasi dokter intership. Yang ingin kukatakan adalah, bahwa lokasi internship dokter, adalah lokasi dengan fasilitas minimal yang masih dapat ditoleransi. Masih ada lokasi-lokasi yang lebih mengenaskan dan mengkhawatirkan. Yang jangankan diketahui oleh khalayak, diobati oleh seorang dokter saja sudah amat bersyukur. Meski penyakitnya segawat ensefalitis sekalipun.

Betapa ucapan, selentingan dan tulisan dapat membahayakan. 

Andai yang tak berilmu mau diam sejenak, niscaya kan gugur perselisihan yang banyak - Ali bin Abi Thalib

Dokter ataupun bukan dokter, semuanya berhak atas kepedulian yang sama. Namun, jika ternyata mereka yang bertugas menyelamatkan nyawa manusia telah dapat juga jatuh tewas, maka bagaimana dengan yang bukan dokter ? Bukan tak mungkin telah banyak yang berpulang sebelumnya karena hal yang hampir sama, lantas, mungkin, profesinya tak seterhormat dokter, atau tak seterkenal itu, jadi tak ada kabar beritanya. 

Untuk profesi dokter sekalipun, ini bukanlah yang pertama. Pada bulan mei tahun ini juga pernah ada kabar seorang dokter PTT meninggal karena Malaria di Papua. Dan yang paling aku takutkan adalah hal ini menjadi rutinitas. Beberapa waktu kedepan, mungkin - meski kuharapkan jangan, ya rabb - akan ada lagi yang bernasib sama dengan pahlawan-pahlawan ini. Lantas akan banyak ucapan bela sungkawa dan publikasinya di sosial media. Beberapa mengutip kisah-kisahnya dan beritanya. Beberapa bahkan (mungkin) hendak mengaitkannya dengan banyak hal, gaji misalnya. Bahkan bukan tak mungkin juga akan ada aksi solidaritas, menggunakan pita hitam, likes, share hingga mengubah gambar profil sosial media. Lalu berlalu sekian waktu hingga kabar itupun meredup. Khalayak mulai kembali pada kesibukannya masing-masing sedang akar masalah kematian para pahlawan ini tetap kokoh membumi. Tak tersentuh, tak terganggu. Dan ada yang berikutnya lagi, berikutnya lagi, berikutnya lagi. 

Hendak berapa banyak lagi para pahlawan ini terkorbankan barulah kita bergerak, lebih dari sekadar likes, share dan bela sungkawa ?

Banyak kematian yang dapat dicegah terjadi pada semua golongan manusia, baik di kota maupun di pelosok negeri ini. Akar masalahnya mulai dari inkompetensi, nil fasilitas, keterlambatan, antrian hingga hanya karena kebodohan. Dan yang berwenang ternyata disibukkan dengan usaha menyelamatkan diri sendiri dahulu barulah tenang menolong. Beberapa telah tenggelam dalam sistem, menurunkan standar toleransinya, hingga sampai pada tahap pemakluman.

"mau bagaimana lagi dek ?"
"memang ruang rawat intensifnya sedang penuh dek ?"
"kapasitas kita memang cuma segini dek"
"dek, lebih mudah mati daripada masuk ke PICU (pediatric intensive care unit)"
"emang udah telat deh, ensefalitisnya udah stadium lanjut"
"udah mau gimana lagi dek, keluarganya mau pulang dulu ga mau operasi. Tapi kalau pulang kondisi gawat gini emang boleh dok ? kita ga boleh maksa dek ! kita udah jelasin baik-baik"
"udah metastasis otak dek, udah ga ada harapan, emang terdiagnosis pas udah stadium akhir dan pasien menolak operasi"

Tak kupungkiri, menjelaskan pada pasien terutama yang berasal dari tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah punya tantangannya tersendiri. Kadang beberapa tanpa ada alasan yang jelas tak sepenuhnya percaya atas penjelasan dokter. Tak sekali dua kali kutemukan pasien yang harusnya segera dioperasi namun dibawa pulang paksa oleh keluarganya hanya karena merasa pasien telah sedikit membaik. Lalu dua hari berikutnya datang lagi setelah kondisi gawat dan berada pada fase yang tak dapat tertolong lagi.

Memang tugas dokter penanggung jawabnya hanya sekadar menjelaskan dan memberi tahukan, bukan memaksa, tapi harusnya tidak melakukan hal ini sekadarnya.

Keluarga meski dijelaskan sebaik apapun tak akan memiliki pemahaman yang sempurna perihal kondisi pasien yang sesungguhnya. Maka seorang dokter harusnya benar-benar berusaha, minimal walau keluarga yang dijelaskan tak sepaham sang dokter tetapi perasaan khawatir dan waspada keluarga harus setingkat dengan sang dokter. Orang akan lupa pada apa yang kita katakan pada mereka tapi mereka akan selalu ingat bagaimana perasaan mereka karena kita.

Kita menjadi sibuk pada hal-hal menyambung hidup, bukan mengisi hidup - Pramoedya A. T.
Kita bukan parasit yang tujuan hidupnya tak lebih dari sekadar bertahan, entah bagaimanapun caranya. Mengambil nutrisi inang, menempel, bahkan mematikan inang asal diri sendiri selamat. Kita tak seperti ini, kita lebih dari itu. Yang membedakan kita dengan parasit adalah empati bahkan simpati. Kita diberi kapabilitas untuk peduli bahkan bertindak atas dasar kepedulian itu.

Masalah memang banyak, namun bersikap pasif hanya akan membuat masalah ini menjadi rutinitas. Dan masyarakat apa yang lebih parah dibanding mereka yang memaklumkan kematian salah seorang anggotanya. Kita mampu berusaha lebih sejatinya, kita mampu melakukan lebih dari likes, share, ganti prof-pict dan memakai pita hitam. Kita mampu melakukan lebih dari sekadar menjelaskan, meminta tanda tangan surat penolakan, dan merasa lega dan tenang. Kita mampu lebih, demi Allah kita mampu.

“You go ahead and sit back in your comfortable chair and you be the critic, you be the observer, while the brave one gets in the ring and engages and gets bloody and gets dirty and fails over and over and over again, but yet isn’t afraid and isn’t timid and lives life in a bold way.”
-Theodore Roosevelt

Meski dalam ketidakmampuan, ketidakberdayaan, jangan pernah sekalipun hati kita menerima, memaklumi. Minimal bersuaralah, beritahukan pada dunia agar masalah ini tak terulang kembali. Agar dapat diantisipasi. Jadillah lebih dari yang lain, dan tak usah takut meski sendiri. Berevolusilah, jadilah spesies yang lebih baik dari yang ada saat ini, dengan kepedulian.

Evolution has yet to transcend that simple barrier. We can care deeply - selflessly - about those we know, but that empathy rarely extends beyond our line of sight. Dr Mann, Interstellar

Peduli tak hanya pada orang terdekat, pada mereka yang satu profesi atau pada mereka yang terlihat, pedulilah pada semua. Tanpa diskriminasi.

Bandung, dua puluh dua November dua ribu lima belas

Bukan Sekedar Soal Kompetisi

Tetiba aku teringat akan ujian lisan pertamaku di fakultas kedokteran. Ujian lisan yang menjadi momok bagi semua mahasiswa baru saat itu, entah karena cerita senior-senior, atau mungkin karena ini memang ujian pertama yang hendak dihadapi oleh mahasiswa baru fakultas kedokteran. Baru delapan minggu kami kuliah sudah harus dituntut menjelaskan penyakit dan ilmu klinis dasar pada dokter-dokter nan bijak lagi berpengalaman itu. Dan tak lupa, harus dalam dua puluh menit kami jelaskan semuanya.

Sontak, semua sibuk bersiap. Ada yang siang malam tak keluar kamar sibuk membaca buku-buku tebal itu. Ada yang sibuk merapalkan kata-kata, umpama dukun yang sedang membaca mantra, kapanpun, dimanapun dan tak peduli entah ada siapapun.

Lantas tibalah saat-saat yang telah dipersiapkan itu hingga keluarlah hasilnya, ada yang menyunggingkan senyum bahagia. Ada yang lega dan hanya tersenyum tipis saja. Ada juga yang tertunduk sedih.

Semenjak sekolah menengah terbiasa bahwa hasil ujian ialah kompetisi yang sifatnya keras, terbawa juga hingga di kuliah. Masih ada rasa sedih saat nilai tak baik sedang yang lain baik dan kadang bahkan ada rasa senang jika nilai lebih baik daripada yang lain. Namun, kulihat seorang kawan yang entah mengapa begitu besar hatinya, begitu lapang dadanya, dan begitu besar jiwanya. Semuanya ia tanyakan dengan baik hasil nilai teman-temannya, lantas ia beri selamat dan semangat. Ia bekali sebisanya untuk yang belum lulus agar berhasil di ujian ulangan.

Ketika kutanya, jawabnya, "Sejatinya ini sudah bukan sekadar soal kompetisi lagi. Ini sudah soal kemanusiaan. Ini soal kedokteran. Tak ada tempat bagi ego disini. Wajah-wajah yang kita lihat di depan kita saat ini, baik yang saat itu lulus maupun tidak, bukan tak mungkin di masa depan akan menyelamatkan kita, orang tua kita dan oran-orang yang kita sayangi lainnya. Setidaknya merekalah yang akan menyelamatkan umat. Karenanya, kenapa kita tak optimalkan mereka, semangati mereka bahkan selamati mereka ?"

Aku hanya bisa tersenyum simpul. Teman ini, kutahu, ia akan jadi orang besar di masa depan. Aamiin ya Allah.

Kenangan ini yang kuingat saat melihat teman-temanku, yang dahulu membersamaiku memasuki fakultas kedokteran, di wisuda dan di sumpah. Tak dapat dipungkiri, ada pikiran-pikiran soal perandaian dan imaji akan waktu-waktu itu, andai saja ini, andai saja itu dan sebagainya. Tapi sekali lagi, harusnya diri sadar, laiknya ujian lisan dahulu, bahwa hal ini bukan sekadar kompetisi lagi. Ia lebih dari itu. Dan bukankah jadinya aku telah benar-benar memenuhi segala hasrat itu ? Dan segala roman soal perjuangan-perjuangan itu, tak peduli bagaimanapun beratnya, telah menjadi bagian dari hidup yang kudambakan, hidup sepenuh-penuhnya hidup.

“IN THE END… We only regret the chances we didn’t take, the relationships we were afraid to have,and the decisions we waited too long to make.” - Lewis Carol, Author of Alice's Adventures in Wonderland
Kemudian, teman itu berujar lagi, "apabila kita mendapati teman kita mendapat nilai yang baik, harusnya kita bangga, dan lega. Bahwa generasi dokter di masa depan kelak akan dapat melanjutkan tugas berat dokter-dokter masa kini. Amanah berupa kesehatan umat itu tak jatuh pada orang-orang yang salah." 

Sekali lagi, semoga keberkahan Allah terus mengalir kepadamu, Aamiin ya rabb. 

Dan kini, rekan seperjuangan itu telah benar-benar mengambil amanah itu, menanggung beban kesehatan umat, kesehatan bangsa. Mulut yang membuka mengatup membaca sumpah, gedung besar agung graha sanusi menjadi saksi, tak lupa malaikat di kanan kiri. Dan yang paling istimewa, ada orang tua serta keluarga mengharu biru dari belakang. 

Allah SWT berfirman,

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh,” (QS. Al-Ahzab: 72).

Aku menyaksikan orang yang kucintai menjalani hidup memegang amanah itu, hampir seluruh hidupku. Baginya, tak ada alasan soal inkompetensi, tak ada alasan sedang istirahat, sedang bersama keluarga, dan sebagainya. Signifikansi dari sumpah itu amatlah besar. Detik menit terlalui semenjak sumpah terucapkan ialah detik menit pengabdian. Detik menit itu adalah soal kebermanfaatan. Maka, siapakah yang lebih baik dari kalian, wahai kawan, orang yang hidupnya, kerjanya memberi manfaat ?  :)

Bandung, sembilan November dua ribu lima belas.