Si Abang

Bajunya bukannya lusuh, hanya saja setiap yang memandangnya pasti tahu bahwa baju itu tak baru lagi. Usang. Tak tega kusebut kata itu, awalnya. Tapi yang kutahu, kejujuran nan murni yang ia sukai dan hargai. Tanpa embel-embel, tanpa basa basi. Berpeci hitam legam habis dicuci, bercelana panjang jeans, dan beriringan bersama dengan banyak kawan seperjuangan. Ia menyusuri jalanan dari Jati Enam tempatnya tinggal hingga ke Alang Lawas di Selatan dan Gunung Pangilun di Utara. Jika kau bukan orang Padang atau tak pernah datang ke padang, maka kuberitahukan kawan, itu jarak yang tak tanggung jauhnya. Belum lagi panasnya kota Bengkuang itu yang amat terkenal. Dan waktu itu ia hanyalah seorang bocah berusia sepuluh tahun.

Di hari itu, saat semua orang bermaaf-maafan - pada umumnya, memakai pakaian baru lagi cantik, bersiap untuk opor ayam, ketupat gulai pakis, nangka dan buncis - pada khususnya, bocah itu sigap memunguti bekas koran yang dipakai banyak orang sebagai alas untuk sajadah nan indah, setelah dipakai untuk sembahyang dua kali setahun itu. Bekas koran yang tadi pagi dijualnya seharga seratus rupiah sebelum shalat. Tak tega mungkin dirinya membiarkan lapangan kantor gubernur itu yang awalnya hijau ternoda oleh bekas-bekas manusia, yang mungkin lupa tempat sampah ada dimana. Atau mungkin ia kira itu bagian dari tanggung jawabnya juga, bahwa tak mungkin lapangan itu terkotori kalau bukan atas usahanya juga berjualan.

Setelah mentari mulai naik lebih dari sepenggalahan, setelah meminta maaf kepada ibu dan kakak adik serta tetangga juga handai tolan, ia bergegas memakai baju muslim favoritnya itu. Tak lupa peci hitam dan celana jeans. Lalu berkumpul bersama gengnya dan bersiap ke arah Alang Lawas. Alang Laweh kami menyebutnya. Dan benarlah, betapa laweh (luas) nya tempat itu. Hanya kini bukan tanaman alang-alang yang mendominasi, tapi belantara gedung dan rimba beton penuh manusia. Dari Jati enam juga ia sudah banyak melakukannya, ia mengetuk pintu-pintu rumah, awalnya rumah-rumah yang dikenalnya. Rumah tetangganya, kerabatnya, atau hanya kenalannya. Lalu mengucap salam dan memohon maaf lahir batin. Lalu mendoakan. Dan menunggu.

Menunggu mereka yang mengerti lagi berbaik hati, untuk memberikan lembaran-lembaran uang kertas baru yang populer khususnya pada hari raya itu. Tradisi yang entah sudah ada semenjak kapan. Tradisi Manambang kami menyebutnya.

Mungkin, dahulu tradisi ini bermula dari upaya silaturrahim di kampung, yang setiap penghuninya kenal satu dengan lainnya tanpa terkecuali. Jadi anak-anak yang girang lagi suka bertualang berjalan dari ujung hingga ujung agar dapat bersilaturrahim dengan semuanya, karena semua penghuni kampung itu adalah kerabatnya. Dan mungkin, untuk menghargai sekaligus menghadiahi upaya belajar bersilaturrahim pada anak-anak, agar mereka tumbuh besar dan dewasa namun tak lupa dengan kerabatnya, maka diberilah mereka sejumlah uang. Agar senang hati mereka, dan utamanya, agar senang bersilaturrahim.

Namun mungkin semakin hari semakin bergeser esensinya. Kampung yang kecil telah berkembang menjadi kota besar. Tak semua penghuni kenal dengan penghuni lainnya, bahkan yang bersebelahan sekalipun, bisa jadi tak kenal. Pun begitu tradisi Manambang untunglah tak ikut punah. Tetap ada memberi makna. InsyaAllah.

Begitu pula soal bocah itu. Manambangnya kini sudah mulai ke rumah-rumah yang tak dikenalnya penghuninya. Rombongannya banyak, karenanya tak mungkin sebuah rumah memberikan banyak pada masing-masingnya. Karena itu strateginya adalah soal volume. Quantity over Quality, begitu pebisnis menyebutnya. Dan benar saja kawan, seperti yang sudah kusebut diatas, Jati enam Alang Lawas, Alang Lawas Gunung Pangilun, Gunung Pangilun Jati Enam, itu tak tanggung jauhnya. Jauh sekali kawan. Apalagi untuk bocah sepuluh tahun.

Sepulangnya manambang, kukira hasil manambang itu hendak dia habiskan di pasar dengan makanan, pakaian dan mainan, laiknya yang dilakukan oleh rombongannya dan banyak anak seusianya. Kukira begitu, tapi maafkan, rupanya tak begitu yang ia lakukan. Bocah itu, memasukkannya dalam sebuah celengan berbentuk ayam. Terlihat sudah ada beberapa isinya, mungkin hasil Manambang tahun lalu. Mungkin. Tabungan ayam nan mungil itu tergeletak indah disamping lampu belajarnya, yang dia buat dari potongan karton, lampu neon dan kabel seadanya. Disebelahnya buku-bukunya tersusun rapi. Selain buku pelajaran banyak juga buku cerita Wiro Sableng disana. Yang dalam beberapa tahun lagi berubah menjadi buku-buku novel Agatha Christie, Buku Sir Arthur Conan Doyle, dan bahkan beberapa tahun lagi, buku-buku fotokopian anatomi dan faal milik orang yang dipinjamnya.

Tabungan itu, seiring berjalannya waktu, tetap disana. Sesekali pernah ia hilang entah dicuri oleh siapa. Tapi pelan-pelan ia kumpulkan lagi sedikit demi sedikit. Kali ini oleh usahanya bekerja, saat sang bocah itu tak lagi layak disebut bocah, saat ia duduk di bangku sekolah menengah, yang kelak dikenal karena melahirkan banyak orang besar dari sana. Bekerja semenjak siang saat pulang dari sekolah hingga larut malam, begitu setiap hari nyaris tanpa libur. Mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan di pasar, tersering di toko jam itu, yang dulu pernah dimiliki almarhum ayahnya. Yang kini dikuasai kakaknya beda ibu, yang hanya Allah yang tahu bagaimana perangainya. Dalam diam, ia terus bekerja. Tak banyak bicara, tak banyak mengeluh.

Kadang tabungan itu ia sendiri yang memakai isinya. Kadang untuk biaya kuliahnya. Tapi kadang juga diam-diam ia berikan pada ibunya, saat ia sadar tak banyak beras tersisa di dapur. Saat ia sadar sang ibu sedang sering merenung dan terdiam, meski tak sedikitpun berkata-kata. Ia tahu ibunya tak akan mungkin menceritakan beban keluarga padanya. Karenanya ia paksakan padanya. Kadang juga untuk adik-adiknya yang sedang tak banyak hasil usaha mereka, di sela-sela sekolah mereka. Maka sang bocah, yang sudah menjadi Si "Abang" ini, diam-diam, memberi pada adik-adiknya tersayang. Yang hingga kini, meski kondisinya telah berbeda, tak lelah ia membantu mereka yang terlalu dicintainya itu.

Dan kini, rupanya telah berbeda posisinya. Kini, rumahnya yang didatangi anak-anak yang manambang. Dan setiap kali mereka datang dan kami ada disana, ia terdiam sejenak, lalu setelah ia berikan hak anak-anak itu, dan kutahu, ia doakan juga mereka, maka ia akan berpaling pada kami. Bercerita pelan-pelan pada kami, soal dirinya yang dahulu ada di posisi mereka.

Dan kami, tak bosan-bosannya setiap tahun, berkaca-kaca dan menunduk sembari tersenyum bangga. Soal pribadi nan tak pernah mengeluh, tak pernah marah, tak pernah lelah, mencintai sepenuh-penuhnya, berikhtiar sekuat-kuatnya, yang menjadi contoh dan teladan bagi kami, yang menjadi penyemangat ketika kami jatuh dan bersedih hati, pun ketika kami bahagia dan bersuka ria, yang tak banyak bicara namun bekeja dan memberi bukti, yang teguh dan panjang sabarnya. Yang memberi kami kebanggaan untuk dari semua manusia yang ada di dunia, kamilah yang berhak memanggilnya Ayah.

Selamat hari lahir, ayah nomor satu di dunia. Tetaplah menjadi kebanggan kami, dan semoga kita, bersama semua orang yang kita cintai karena Allah, dapat berkumpul bersama lagi di surganya Allah.
 
Jikalau berat olehmu rasanya berpuasa, nak, maka ingatlah insyaAllah akan lebih nikmat nanti berbuka - Ayah

Bandung, dua puluh tujuh desember dua ribu lima belas.


Hidup Tanpa Label

Pernah ada seorang tua yang hidup di desa kecil. Meskipun ia miskin, semua orang cemburu kepadanya karena ia memiliki kuda putih cantik. Bahkan raja menginginkan hartanya itu. Kuda seperti itu belum pernah dilihat orang, begitu gagah, anggun dan kuat.

Orang-orang menawarkan harga amat tinggi untuk kuda jantan itu, tetapi orangtua itu selalu menolak, “Kuda ini bukan kuda bagi saya,” katanya. “Ia adalah seperti seseorang. Bagaimana kita dapat menjual seseorang. Ia adalah sahabat, bukan milik. Bagaimana kita dapat menjual seorang sahabat?” Orangtua itu miskin dan selalu mendapat godaan besar. Tetapi ia tidak mau menjual kuda itu.

Suatu pagi, ia menemukan bahwa kuda itu tidak ada di kandangnya. Seluruh desa datang menemuinya. “Orangtua bodoh,” mereka mengejek dia. “Sudah kami katakan bahwa seseorang akan mencuri kuda Anda. Kami peringatkan bahwa Anda akan dirampok. Anda begitu miskin. Mana mungkin Anda dapat melindungi binatang yang begitu berharga? Sebaiknya Anda menjualnya. Anda boleh minta harga berapa saja. Harga setinggi apapun akan dibayar juga. Sekarang kuda itu hilang dan Anda dikutuk oleh kemalangan.”

Orangtua itu menjawab, “Jangan bicara terlalu cepat. Katakan saja bahwa kuda itu tidak berada di kandangnya. Itu saja yang kita tahu, selebihnya adalah penilaian. Apakah saya dikutuk atau tidak, bagaimana Anda dapat ketahui itu? Bagaimana Anda dapat menghakimi?”

Orang-orang desa itu protes, “Jangan menggambarkan kami sebagai orang bodoh! Mungkin kami bukan ahli filsafat, tetapi filsafat hebat tidak diperlukan. Fakta sederhana bahwa kuda Anda hilang adalah kutukan.”

Orangtua itu berbicara lagi, “Yang saya tahu hanyalah bahwa kandang itu kosong dan kuda itu pergi. Selebihnya saya tidak tahu. Apakah itu kutukan atau berkat, saya tidak dapat katakan. Yang dapat kita lihat hanyalah sepotong saja. Siapa tahu apa yang akan terjadi nanti?”

Orang-orang desa tertawa. Menurut mereka orang itu gila. Mereka memang selalu menganggap dia orang tolol. Kalau tidak, ia akan menjual kuda itu dan hidup dari uang yang diterimanya. Sebaliknya, ia seorang tukang potong kayu miskin, orangtua yang memotong kayu bakar dan menariknya keluar hutan lalu menjualnya. Uang yang ia terima hanya cukup untuk membeli makanan, tidak lebih. Hidupnya sengsara sekali. Sekarang ia sudah membuktikan bahwa ia betul-betul tolol.

Sesudah lima belas hari, kuda itu kembali. Ia tidak dicuri, ia lari ke dalam hutan. Ia tidak hanya kembali, ia juga membawa sekitar selusin kuda liar bersamanya. Sekali lagi penduduk desa berkumpul di sekeliling tukang potong kayu itu dan mengatakan, “Orangtua, kamu benar dan kami salah. Yang kami anggap kutukan sebenarnya berkat. Maafkan kami.”

Jawab orang itu, “Sekali lagi kalian bertindak gegabah. Katakan saja bahwa kuda itu sudah balik. Katakan saja bahwa selusin kuda balik bersama dia, tetapi jangan menilai. Bagaimana kalian tahu bahwa ini adalah berkat? Anda hanya melihat sepotong saja. Kecuali kalau kalian sudah mengetahui seluruh cerita, bagaimana Anda dapat menilai? Kalian hanya membaca satu halaman dari sebuah buku. Dapatkah kalian menilai seluruh buku? Kalian hanya membaca satu kata dari sebuah ungkapan. Apakah kalian dapat mengerti seluruh ungkapan? Hidup ini begitu luas, namun Anda menilai seluruh hidup berdasarkan satu halaman atau satu kata. Yang Anda tahu hanyalah sepotong! Jangan katakan itu adalah berkat. Tidak ada yang tahu. Saya sudah puas dengan apa yang saya tahu. Saya tidak terganggu karena apa yang saya tidak tahu.”

“Barangkali orangtua itu benar,” mereka berkata satu sama lain. Jadi mereka tidak banyak berkata-kata. Tetapi di dalam hati mereka tahu ia salah. Mereka tahu itu adalah berkat. Dua belas kuda liar pulang bersama satu kuda. Dengan kerja sedikit, binatang itu dapat dijinakkan dan dilatih, kemudian dijual untuk banyak uang.

Orangtua itu mempunyai seorang anak laki-laki. Anak muda itu mulai menjinakkan kuda-kuda liar itu. Setelah beberapa hari, ia terjatuh dari salah satu kuda dan kedua kakinya patah. Sekali lagi orang desa berkumpul di sekitar orangtua itu dan menilai. “Anda benar,” kata mereka. “Anda sudah buktikan bahwa Anda benar. Selusin kuda itu bukan berkat. Mereka adalah kutukan. Satu-satunya puteramu patah kedua kakinya dan sekarang dalam usia tua Anda tidak punya siapa-siapa untuk membantu Anda. Sekarang Anda lebih miskin lagi.”

Orangtua itu berkata, “Ya, kalian kesetanan dengan pikiran untuk menilai, menghakimi. Jangan keterlaluan. Katakan saja bahwa anak saya patah kaki. Siapa tahu itu berkat atau kutukan? Tidak ada yang tahu. Kita hanya mempunyai sepotong cerita. Hidup ini datang sepotong-sepotong.”

Maka dua minggu kemudian negeri itu berperang dengan negeri tetangga. Semua anak muda di desa diminta untuk menjadi tentara. Hanya anak si orangtua itu yang tidak diminta karena ia terluka. Sekali lagi orang berkumpul sekitar orangtua itu sambil menangis dan berteriak karena anak-anak mereka sudah dipanggil untuk bertempur. Sedikit sekali kemungkinan mereka akan kembali. Musuh sangat kuat dan perang itu akan dimenangkan musuh. Mereka tidak akan melihat anak-anak mereka kembali. “Anda benar, orangtua!” mereka menangis. “Tuhan tahu, Anda benar. Ini buktinya. Kecelakaan anakmu merupakan berkat. Kakinya patah, tetapi paling tidak ia ada bersamamu. Anak-anak kami pergi untuk selama-lamanya.”


Orangtua itu berujar, “Tidak mungkin untuk berbicara dengan kalian. Kalian selalu menarik kesimpulan. Tidak ada yang tahu. Katakan hanya ini, anak-anak kalian harus pergi berperang, dan anak saya tidak. Tidak ada yang tahu apakah itu berkat atau kutukan. Tidak ada yang cukup bijaksana untuk mengetahui. Hanya Allah yang tahu.”

***

Soal hikmah, soal alasan dibalik sebuah kejadian, kadang kita tak sabar dan tergesa menyimpulkan. Padahal dibalik skenario masih ada skenario. Dan skenario terbaik datangnya dari Allah. 

Yang bisa kita pelajari amat banyak, dan salah satunya dari cerita diatas adalah, bahwa ini semua tak cukup sekadar soal pasrah. Si orang tua dan keluarganya, tidak diam dan menunggu, namun bergerak dan hidup. Ini soal tawwakal. Ini soal prasangka baik kepada Allah SWT. 

Mari kita ikhtiarkan diri agar tidak menjadi salah satu dari golongan ekstrim yang terlalu cepat menarik kesimpulan soal takdir. Ada yang salah memahami soal takdir Allah, cepat menarik kesimpulan, dan akhirnya enggan berjuang, enggan berikhtiar dengan alasan, Allah sudah menentukan dirinya begitu adanya. 

Ada juga yang terlalu percaya pada diri sendiri, dan seakan Allah tak punya andil apapun atas takdirnya. Seakan Allah hanya yang menciptakannya dan sisanya adalah perbuatannya saja. Bahwa dunia adalah kanvas kosong yang hanya dirinya sajalah nan melukis tanpa ada sedikitpun andil Allah disana. 

Mari kita juga percayai soal kuasaNya yang lebih dari apapun. Laa haula walaa quwwata illa billah
Tidak ada daya dan upaya, dari apapun dan siapapun, yang lebih besar dari Allah dalam menentukan takdir kita. 

Semua telah tertulis di lauhul mahfudz. Namun tak ada yang bisa tahu apa yang tertulis. Maka disinilah seninya. Seni berikhtiar sekuat tenaga, berdoa sekuat hati, dan bertawwakal sepenuh jiwa. Dalam prosesnya, ada pilihan-pilihan untuk tetap tenang dan bersabar yang akan membuat kita makin menyadari kuasaNya. Yang akan menambah keimanan kita. 

Kita bisa saja mereka-reka apa yang telah tertulis tapi akan penuh sesal jika tak mencoba. 

Jika sudah takdirNya, maka entah bagaimanapun lika-liku hingga jalan memutar yang ditempuh berkali-kali, maka InsyaAllah akan kembali jua. 

Jika bukan takdirNya, entah bagaimanapun upaya memuluskan jalan itu dilakukan, maka tak akan pernah sampai padanya. 

Dan terakhir, sekali lagi, semoga kita tak terlalu dini menyimpulkan. Atau bahkan biarlah kesimpulan itu untuk akhir hayat saja. Ndak usah sibuk melabeli mana yang anugrah mana yang musibah. Teguhkan saja pemahaman bahwa Allah tidak akan mensia-siakan hambanya. Jika tidak sekarang, mungkin nanti. Jika memang tak dapat, InsyaAllah akan diganti. Dengan yang lebih baik lagi, InsyaAllah. 

Bandung dua puluh enam Desember dua ribu lime belas


Soal Hikmah, Soal Hati

Pada setiap kejadian dalam hidup manusia, ada porsi-porsi bagi manusia lain untuk dapat membuat manusia makin mendekatkan diri lagi pada Allah. 
Setiap kejadian. InsyaAllah.

Itu namanya hikmah.

Namun kadang hikmah tak kita terima dalam bentuk; ceramah nan menggugah; tulisan nan indah; atau nasehat yang mengubah.

Kadang bentuknya berbeda. Kadang ia tersembunyi dalam hal yang membuat kecewa. Kadang ia tersembunyi dalam teguran yang memicu amarah di dada. Kadang berupa sikap yang tak enak hati jadinya.

Maafkanlah hati manusia, karena kadang tak siap menerima takdirNya.

Tapi bila pemahaman bahwa setiap hal ini terjadi atas kehendakNya, maka entah bagaimanapun bentuknya, bahkan bilapun sampai akhir nanti kita belum temukan juga hikmah atas berbagai kejadian dalam hidup kita, insyaAllah hati bisa tetap tenang.

"Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki dan memberi petunjuk orang yang bertaubat kepadaNya, (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." Qs Ar Rad : 27-28

Keimanan, bisa kita pelajari dari kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa A.s. Kita insyaAllah tahu bagaimana kisahnya, Nabi Musa A.s yang belajar pada Nabi Khidir dengan prasyarat bahwa segala tindakan Nabi Khidir tak boleh dipertanyakan apalagi ditolak. Kita mungkin ingat ada peristiwa membunuh, ada pengrusakan kapal, dan ada pembangunan rumah. 

Kejadian yang pertama adalah saat Nabi Khidir menghancurkan perahu yang ditumpangi mereka bersama. Nabi Musa tidak kuasa untuk menahan hatinya untuk bertanya kepada Nabi Khidir. 
Setelah mereka sampai di suatu daratan, Nabi Khidir membunuh seorang anak yang sedang bermain dengan kawan-kawannnya. Peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Nabi Khidir tersebut membuat Nabi Musa tak kuasa untuk menanyakan hal tersebut kepada Nabi Khidir. Nabi Khidir kembali mengingatkan janji Nabi Musa, dan dia diberi kesempatan terakhir untuk tidak bertanya-tanya terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Khidir, jika masih bertanya lagi maka Nabi Musa harus rela untuk tidak mengikuti perjalanan bersama Nabi Khidir.Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai disuatu wilayah perumahan. Mereka kelelahan dan hendak meminta bantuan kepada penduduk sekitar. Namun sikap penduduk sekitar tidak bersahabat dan tidak mau menerima kehadiran mereka, hal ini membuat Nabi Musa merasa kesal terhadap penduduk itu. Setelah dikecewakan oleh penduduk, Nabi Khidir malah menyuruh Nabi Musa untuk bersama-samanya memperbaiki tembok suatu rumah yang rusak di daerah tersebut. Nabi Musa tidak kuasa kembali untuk bertanya terhadap sikap Nabi Khidir ini yang membantu memperbaiki tembok rumah setelah penduduk menzalimi mereka. 

Nabi Khidir, telah dikaruniai oleh Allah pengetahuan. Sehingga tahu bahwa semua hal yang dilakukannya ada hikmahnya. 

Kejadian pertama adalah Nabi Khidir menghancurkan perahu yang mereka tumpangi karena perahu itu dimiliki oleh seorang yang miskin dan di daerah itu tinggallah seorang raja yang suka merampas perahu miliki rakyatnya.
Kejadian yang kedua, Nabi Khidir menjelaskan bahwa dia membunuh seorang anak karena kedua orang tuanya adalah pasangan yang beriman dan jika anak ini menjadi dewasa dapat mendorong bapak dan ibunya menjadi orang yang sesat dan kufur. Kematian anak ini digantikan dengan anak yang shalih dan lebih mengasihi kedua bapak-ibunya hingga ke anak cucunya.
Kejadian yang ketiga (terakhir), Nabi Khidir menjelaskan bahwa rumah yang dinding diperbaiki itu adalah milik dua orang kakak beradik yatim yang tinggal di kota tersebut. Didalam rumah tersebut tersimpan harta benda yang ditujukan untuk mereka berdua. Ayah kedua kakak beradik ini telah meninggal dunia dan merupakan seorang yang shalih. Jika tembok rumah tersebut runtuh, maka bisa dipastikan bahwa harta yang tersimpan tersebut akan ditemukan oleh orang-orang di kota itu yang sebagian besar masih menyembah berhala, sedangkan kedua kakak beradik tersebut masih cukup kecil untuk dapat mengelola peninggalan harta ayahnya.

Sedang Nabi Musa A.s belumlah dikaruniai oleh Allah pengetahuan itu. Maka sikap terbaik adalah berhusnudzan bahwa ini semua ada hikmahnya. Ada alasan dibalik semua tindakan Nabi Khidir. Namun kadang, laiknya manusia mulia itu, belum tentu bisa bersabar untuk mengetahui hikmah-hikmah tersebut. Hati kecil kita bertanya-tanya pada hal-hal yang kadang diluar rasionalitas dan logika. Hati kecil kita, mempertanyakan semua yang terjadi kenapa tak seperti seharusnya. 

Maka bertaubatlah, perkuatlah iman kita. Agar kita benar-benar sadar bahwa semua hal pasti ada hikmahnya. Agar pernyataan barusan tak hanya sekadar kata-kata saja namun mengejawantah menjadi perbuatan. 

Iman itu, dibenarkan oleh hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan perbuatan.

Oleh karena itu, pada setiap hal yang terjadi pada hidup kita, kita sejatinya diberi pilihan untuk tetap tenang dan sabar. Maka harusnya kita berterima kasih pada setiap manusia, bersyukur pada setiap kejadian, karena ada kesempatan untuk makin mendekatkan diri lagi pada Allah. Kesempatan untuk menambah keimanan. 

Pun untuk hati kita, do'a insyaAllah tiga hakikatnya. Terkabul, tertunda, atau diganti jadi yang lebih baik. 

Pun kejadian, insyaAllah tiga juga hakikatnya. Ujian, cobaan dan azab. 

Ujian, ditujukan untuk mereka yang shalih, mereka yang terjaga. Allah menghendaki mereka menjadi lebih baik lagi, karenanya perlu diuji agar naik tingkat. 

Cobaan, ditujukan untuk mereka yang bukanlah paling baik, namun bisa jadi ada hal-hal kurang baik yang butuh diingatkan, butuh ditegur. Allah masih sayang pada mereka jadi Allah ingatkan agar tak terjerumus pada hal-hal yang tidak baik. 

Sedang Azab, ditujukan untuk mereka yang telah melakukan hal-hal yang amat tidak baik, karenanya perlu diturunkan hukuman. Namun, bisa jadi hukuman ini sifatnya memberi pelajaran.

"Dan sesungguhnya kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (didunia) sebelum azab yang lebih besar (diakhirat), Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)." Qs As Sajdah : 21

Semoga hati-hati kita dapat tenang dan tentram akan takdirNya, Aamiin ya rabbal'alamin. 

Bandung dua puluh empat Desember dua ribu lima belas


Termasuk Tarbiyah (Bimbingan) Alloh Kepadamu"

oleh Dr. Taufiq Ar Raqb

Alloh mempunyai banyak cara dalam mentarbiyah (membimbing) hamba2-Nya


من تربية الله لك (1)...
قد يبتليك الله بالأذى ممن حولك حتى لا يتعلق قلبك بأي أحد لا أم ولا أب لا أخ ولا صديق، فيتعلّق قلبك بهِ وحده


1) Termasuk tarbiyah Alloh terhadapmu...
Terkadang Allah mengujimu dengan gangguan dan sesuatu yang menyakitkan dari orang disekitarmu, sampai hatimu tidaklah bergantung kepada siapapun. Tidak kepada ibu, bapak, saudara, dan teman. Akan tetapi, hatimu bergantung kepada-Nya saja.


من تربية الله لك (2) ...
قد يبتليك ليستخرج من قلبك عبودية الصبر والرضى وتمام الثقة به هل أنت راض عنه لأنه أعطاك؟ أم لأنك واثق أنه الحكيم الرحيم؟


2) Termasuk tarbiyah Alloh terhadapmu...
Terkadang Dia mengujimu dengan tujuan menampakkan dari hatimu ibadah kesabaran, ridha, dan percaya diri kepada-Nya. Apakah kamu ridha kepada-Nya dikarenakan Dia telah memberimu? Atau dikarenakan kamu percaya, bahwa Dia adalah Zat yang penuh dengan hikmah (dalam segala kehendak dan perbuatannya) lagi Maha Penyayang ?


من تربية الله لك (3)...
قد يمنع عنك رزقا تطلبه لأنه يعلم أن هذا الرزق سبب لفساد دينك أو دنياك، أو أن وقته لم يأت، وسيأتي في أروع وقت ممكن


3) Termasuk tarbiyah Alloh terhadapmu...
Terkadang Dia mencegah darimu rezeki yang kamu minta, sebab Dia tahu bahwa sesungguhnya rezeki tersebut akan menjadi penyebab rusaknya agama atau duniamu. Atau, waktunya belum tiba dan akan tiba pada saat terbaik yang memungkinkan.


من تربية الله لك (4) ...
قد ينغص عليك نعمة كنت متمتعاً فيها لأنه رأى أن قلبك أصبح "مهموما" بالدنيا فأراد أن يريك حقيقتها لتزهد فيها وتشتاق للجنة


4) Termasuk tarbiyah Alloh terhadapmu...
Terkadang Dia tidak memberikanmu kenikmatan dengan sempurna, yang kamu telah nikmati. Sebab, Dia melihat bahwa hatimu telah menyukai dunia, lalu Dia berkehendak memperlihatkan padamu akan hakikat dunia, agar kamu dapat zuhud, memandang rendah pada dunia dan merindukan surga.


من تربية الله لك (5)...
أنه يعلم في قلبك مرضاً أنت عاجز عن علاجه باختيارك.. فيبتليك بصعوبات...تخرجه رغماً عنك تتألم قليلاً...ثم تضحك بعد ذلك


5) Termasuk tarbiyah Alloh terhadapmu...
Sesungguhnya Dia mengetahui penyakit di hatimu yang kamu tidak mampu mengobatinya sesuai dengan kemauanmu, lalu Dia mengujimu dengan kesulitan-kesulitan yang semuanya itu akan mengusir penyakit tersebut walaupun kamu merasakan sedikit sakit dan pedih, namun kemudian kamu akan tertawa setelah itu.


من تربية الله لك (6)...
أن يؤخر عنك الإجابة حتى تستنفد كل الأسباب وتيأس من صلاح الحال ثم يُصلحه لك من حيث لا تحتسب حتى تعلم من هو المُنعم عليك


6) Termasuk tarbiyah Alloh terhadapmu...
(Terkadang) Dia menunda terkabulnya doamu sehingga kamu menghabiskan segala sebab dan usaha (untuk mewujudkan harapan dan cita-cita) dan kamu berputus asa dari keadaan yang baik, namun kemudian Dia memperbaiki keadaanmu dari sekiranya kamu tidak menyangkanya, sehingga kamu mengetahui bahwa Dia-lah yang menganugerahkan kenikmatan tersebut terhadapmu.


من تربية الله لك(7)...
حين تقوم بالعبادة من أجل الدنيا يحرمك الدنيا حتى يعود الإخلاص إلى قلبك وتعتاد العبادة للرب الرحيم ثم يعطيك ولا يُعجزه


7) Termasuk tarbiyah Alloh terhadapmu...
(Terkadang) Ketika kamu sedang melaksanakan ibadah karena berniat mencari dunia, lalu Dia menghalang-halangi kamu dari dunia sehingga niat ikhlas dapat kembali lagi ke hatimu, dan kamu dapat terbiasa beribadah karena Rabb yang Maha Penyayang, kemudian akhirnya Dia memberikanmu (dunia tersebut) dan tidak melemahkan keikhlasanmu.


من تربية الله لك (8)...
أن يُطيل عليك البلاء ويُريك خلال هذا البلاء من اللطف والعناية وانشراح الصدر ما يملأ قلبك معرفة به حتى يفيض حبه في قلبك


8) Termasuk tarbiyah Alloh terhadapmu...
(Terkadang) Dia memperlama ujian dan cobaan pada dirimu dan Dia hendak memperlihatkan padamu disela-sela cobaan ini; kasih sayang, pertolongan, dan perasaan lapang dada yang memenuhi hatimu, yang kamu ketahui dengan baik, sehingga kecintaan tersebut memenuhi hatimu.


من تربية الله لك(9)...
أن يراك غافلا عن تربيته وتُفسر الأحداث كأنها تحدث وحدها فيظل يُريك من عجائب أقداره وسرعة إجابته للدعاء حتى تستيقظ وتُبصر


9) Termasuk tarbiyah Alloh terhadapmu...
(Terkadang) Dia melihat dirimu lalai untuk mendidik hatimu dan menafsirkan semua kejadian-kejadian seakan-akan semuanya terjadi dengan sendirinya, kemudian Dia memperlihatkan padamu sebagian dari keajaiban takdir-takdir-Nya dan pengabulan-Nya yang cepat terhadap doa, sehingga (ketika itu) kamu bisa bangun dan sadar dari kelalaian tersebut.


من تربية الله لك(10) ...
أن يعجل لك عقوبته على ذنوبك حتى تُعجّل أنت التوبة فيغفر لك ويطهرك ولا يدع قلبك تتراكم عليه الذنوب حتى يغطيه الرّان فتعمى


10) Termasuk tarbiyah Alloh terhadapmu...
(Terkadang) Dia mempercepat turunnya hukuman-Nya terhadap dirimu atas dosa-dosamu sehingga kamu dapat segera bertaubat, lalu Dia mengampunimu dan menyucikanmu dan tidak membiarkan dosa-dosamu terakumulasi dan memenuhi hatimu, sehingga hatimu tertutup dengan "ar-raan" (noda hitam) yang menyebabkan hatimu menjadi buta.


من تربية الله لك (11)...
أنك إذا ألححت على شيء مصراً في طلبه متسخطاً على قدر الله يعطيك إياه حتى تذوق حقيقته فتبغضه وتعلم أن اختيار الله لك كان خيرا لك


11) Termasuk tarbiyah Alloh terhadapmu...
Sesungguhnya ketika dirimu terus menerus memelas memohon sesuatu serta marah-marah terhadap qadar Alloh (karena belum mengabulkan keinginanmu), maka Dia memberikan dan mengabulkannya untukmu sehingga kamu dapat merasakan hakikat (keburukan hasil)nya, lalu kamu membencinya dan kamu baru mengetahui (ketika itu) bahwa pilihan Alloh untukmu lebih baik bagimu.


من تربية الله لك (12) ...
أن تكون في بلاء ... فيُريك من هو أسوأ منك بكثير (في نفس البلاء) ... حتى تشعر بلطفه بك وتقول من قلبك: الحمد لله


12) Termasuk tarbiyah Alloh terhadapmu...
Suatu ketika kamu tertimpa cobaan, lalu Dia memperlihatkan kepadamu orang lain yang tertimpa cobaan yang sama denganmu, akan tetapi keadaannya jauh lebih buruk daripada dirimu, sehingga kamu dapat merasakan belas kasih-Nya terhadap dirimu

Jangan Terlena di Perjalanan

Apa itu bahagia ?
Apa saat sudah tak ada lagi yang dihasratkan ? Namun kurasa itu soal kepuasan, bukan kebahagiaan.

Kebahagian hakiki adalah soal barakah. Jalan bisa mulus lagi penuh sejuknya semilir, jika tak lupa siapa pemberi nikmat, jika syukur yang dilakukan, insyaAllah bahagia.

Dan ingatlah tatkala rabbmu memaklumkan,”Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah nikmat untuk kalian. Dan jika kalian mengingkari, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih. QS Ibrahiim : 7

Kadang, jalan itu bisa berliku lagi mendaki, penuh bebatuan dan duri, jua gelap lagi dihuni kebuasan. Kadang jatuh, terperosok, terjerembab. Namun jika pelan-pelan, lantas sabar yang dilakukan, maka insyaAllah juga bisa bahagia.

Katakanlah (Muhammad),”Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman ! Bertakwalah kepada Tuhanmu.” Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. Qs Az-Zumar : 10

Suatu saat seorang penuntut ilmu hendak ujian. Ia coba persiapkan segala bekal agar lulus dalam ujian ini, agar dapat sepenuh-penuhnya menjawab pertanyaan dari gurunya. Namun di tengah ujian itu, rupanya ada hal-hal yang harusnya ia ketahui namun khilaf dirapalkannya. Ada hal-hal yang esensial yang tidak dikajinya. Lantas ia tak mampu menjawab pertanyaan sang guru. Diakhir ujian, sang guru pun membantunya dengan lembut, membimbingnya untuk menemukan jawaban itu. Ia senang. Namun di akhir tahun ajaran, ternyata saat diumumkan, penuntut ilmu yang lain mendapat penghargaan atas usahanya yang baik, yang berbeda dari yang pertama, ia tak lupa lagi khilaf soal hal-hal esensial itu. Ia mampu menjawab pertanyaan sang guru dengan baik dan sang guru pun menghadiahinya penilaian tertinggi. Sang penuntut ilmu yang pertama tadi, timbul sedihnya, dan mungkin, timbul dengkinya.

Identitasnya, ialah penuntut ilmu. Orientasi dan tujuannya tercitra pada identitasnya. Maka harusnya penilaian tak membuatnya goyah, tak membuatnya tergoda. Menuntut ilmu itu tak hanya saat sebelum ujian, namun saat ujian, dan bahkan setelah ujian pun masih ada porsi kewajiban untuk terus menuntut ilmu. Bisa jadi penilaiannya tak sebaik yang lain, tapi pastikan ilmu itu tak lepas, tak hilang. Setelah tahu soal kesalahan, insyaAllah semakin dekat pada kebenaran. Ada limpahan ilmu pada saat belajar sebelum ujian, pada saat ujian, hingga selesai ujian. Semoga hati tak goyah pada hal-hal berupa penilaian, penghargaan, apalagi opini manusia.

Dan rupanya, begitulah yang kurasa soal ikhtiar. Soal berusaha. Niat kita baiknya hanya untuk Allah semata. Niat kita adalah soal keberkahan. Maka sebaik apapun niat, bukan jaminan soal hasil berikhtiar. Hasil adalah hakNya yang telah tertulis dalam lauhul mahfudz. Jauh sebelum nafas ini berhembus. Rasa suka ialah anugrah dariNya, maka jalan terbaik hanyalah menyalurkannya dalam cara-cara yang Ia ridhai. Berproses dengan hati-hati, menjaga hati, mendekatkan diri padaNya, merayuNya dengan do’a-do’a, yang bertarung dengan takdir di langit, kemudian yang tersisa hanyalah tawwakal. Jika benar, rupanya, memang rasa itu beresonansi dengan takdir, maka tak boleh meninggi, tak boleh lupa bahwa itu semua ialah kekuasaanNya nan maha tinggi. Bersyukurlah, agar melimpah barakah. Namun, namun ya rabb, jika ternyata belumlah seirama antara rasa dan takdir ilahi, maka bisa jadi ini adalah pelajaran soal tulus ikhlas. Bisa jadi, bisa jadi ini adalah pelajaran soal kesabaran. Bersabarlah, (juga) agar melimpah barakah.

Kita, harusnya, tak lupa soal tujuan semula. Keberkahan. Allah, Allah, dan Allah. Ibarat sang penuntut ilmu tak pernah boleh lupa soal tujuannya, yakni ilmu. Penilaian boleh jadi paling baik pun paling buruk, namun apapun yang terjadi, ilmu tetap harus direnggut. Maka soal rasa pun sama. Entah bagaimana rupanya rasa di hati ini mengejawantah, maka semoga kita tak lupa akan syukur dan sabar, agar barakah terpagut.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Qs Al Baqarah 216

Ketaatan itu, melebihi rasa suka pun benci.

Soal hati, gelisah itu wajar. Sedih juga manusiawi. Jika ia terus ada, maka jagalah ia agar tak menggoyahkan. Tak ada rasanya yang tak dapat sedih lagi goyah. Semua tak lepas darinya, percayalah. 

“Kau tahu, Irfan. Ayah dan Ummi telah berpuluh-puluh tahun lamanya hidup bersama. Tidak mudah ayah melupakan kebaikan Ummi. Itulah sebabnya bila datang ingatan Ayah terhadap Ummi, Ayah mengenangnya dengan bersenandung. Namun bila ingatan ayah terhadap Ummi itu muncul begitu kuat, Ayah segera mengambil air wudhu. Ayah shalat taubat dua rakaat. Kemudian Ayah mengaji. Ayah berupaya mengalihkannya dan memusatkan pikiran dan kecintaan Ayah semata-mata kepada Allah.” – Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA)

 Dan tak lupa, banyak cara meraih barakah, banyak jalan menuju surganya Allah. InsyaAllah.

“Kedua orang tua itu adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kalian mau memasukinya maka jagalah orang tua kalian. Jika kalian enggan memasukinya, silahkan sia-siakan orang tua kalian.” (HR. Tirmidzi, ia berkata: “hadits ini shahih”)

Suatu hari, ‘Abdullah Bin Mas’ud bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.” Kemudian ia kembali bertanya, “Lalu apa lagi?” Rasulullah menjawab, “Berbakti kepada orang tua.” Kemudian ia kembali bertanya, “Lalu apa lagi?” Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam menjawab, “Berjihad di jalan Allah.”. (Muttafaq ‘Alaih)

Selamat hari ibu, untuk semua ibu-ibu di dunia, umumnya, dan khususnya, hanya untukmu, ibu.


Bandung, dua puluh tiga Desember dua ribu lima belas







Nb. Catatan ini, beserta catatan-catatan yang lain, ditulis dengan niat agar menjadi pengingat lagi penenang hati penulis. Pun ada kiranya yang dapat diambil, Alhamdulillah. Pun ternyata penulis yang banyak cela lagi hina ini khilaf, insyaAllah dua telinganya siap mendengarkan.

Saat Tahu Kapan Waktu itu Datang

Waktu itu kami sedang menjalani proses pendidikan profesi di sebuah rumah sakit di kota Bandung. Kami temui pengajar dokter-dokter spesial(is) yang amat jauh terpaut usianya dengan kami, namun masih saja rela membimbing kami dan teman-teman yang ibarat baru lahir kemarin sore. Dan yang kami sukai, betapa pengalaman mendewasakan dan kebijaksanaan mengajarkan kami jauh lebih berkesan dibanding segala metoda-metoda menuntut ilmu lainnya. Beliau mengajarkan kami dengan cerita, dengan kisah dan dengan teladan. Maka, bukan soal menggurui, bukan soal sok tahu, apalagi menghakimi, kami hanya hendak sedikit membagi kisah yang menjadi inspirasi kami hingga detik ini. 

#Saat Tahu Kapan Waktu itu Datang

Ia adalah pria yang tampan. Badannya pun tinggi semampai lagi bersih. Kemudian dari caranya berbahasa lagi berbicara dapatlah semua yang mendengar ketahui dasar pendidikannya yang tinggi. Dan yang paling istimewa, dari kesantunannya terhadap lawan bicaranya, maka kita ketahui bahwa ia berasal dari keluarga baik-baik, insyaAllah. 

Sudah lima hari ia ada di rumah sakit itu. Suatu hal yang amat aneh sejujurnya. Merokok tak pernah apalagi menenggak alkohol. Maka jangan tanya soal obat-obatan terlarang. Amal shalihnya terlihat saat setiap hari berkunjung. Dan jika kami tidak salah ingat, ia telah mapan dan bekerja di sebuah perusahaan di kota itu, kotanya Muhammad Thoha sang pembakar semangat. Namun saban hari yang lalu, darah termuntahkan dari mulutnya. Sontak rekan serta keluarganya amat kaget akan kondisinya. 

Hari itu adalah hari keluarnya hasil pemeriksaan darahnya soal insiden yang belum lama terjadi itu. Kebetulan sang istri serta anaknya belum hadir di rumah sakit saat itu. Tetapi guru kami sudah. Ia segera beranjak ke tempat tidur pria itu untuk memberitahukan sebuah kabar padanya. Kabar buruk rupanya. 

"Pak, selamat pagi. Bagaimana tidurnya semalam, bisa tidur ?"

"Pagi dok, Alhamdulillah bisa tidur nyenyak dok. Meski dini hari sempat terbangun juga dok."

"Alhamdulillah. Bagaimana kondisinya pak, apa masih ada keluhan ?"

"Alhamdulillah tidak lagi dok. Tidak ada lagi muntah darah dok."

"Baiklah kalau begitu pak. Punten, pak, saya baru saja menerima hasil pemeriksaan darah bapak. Hasilnya baru saja keluar."

"Iya, bagaimana dok hasilnya ?"

"Sebelumnya, apa bapak mau saya beritahukan setelah seluruh keluarga datang atau mau saat ini saja ?"

Pria itu terdiam cukup lama, sedang guru kami bersabar menunggu. Pandangannya jauh ke depan. Namun tak lama, ia kembali menoleh pada guru kami. 

"Hasilnya tak baik ya dok ? Ya sudah dok, tidak apa sekarang saja."

Guru kami hening sejenak, menarik nafas lalu menghelanya pelan-pelan. 

"Pak, dari pemeriksaan, kami temukan ternyata bapak menderita kanker hati stadium lanjut. Saya sudah berkonsultasi dengan dokter bedah dan dokter ahli tumor, penyakit bapak sudah masuk stadium akhir. Tak banyak yang dapat saya dan dokter-dokter yang lain dapat lakukan lagi pak."

Pria itu terkejut. Hanya ada dia dan guru kami di ruangan itu. Seketika suasana begitu sepi, begitu dingin dan begitu sunyi. Hanya ada angin semilir yang berhembus pelan. Seakan berhati-hati agar tak melukai lagi mendingini orang-orang di ruangan itu. 

"Subhanallah, berapa banyak waktu yang saya punya, dok ?

"Tidak ada yang pasti pak, amat bergantung pada kondisi bapak. Namun dari penelitianyang pernah ada, kemungkinan bapak punya waktu enam bulan."

"Enam bulan ?!"

"Saya takut begitu pak."

Air matanya menetes membasahi pipinya. Usianya masih amat belia. Bahkan anaknya belumlah mengenal baca tulis. Istrinya, hanyalah ibu rumah tangga biasa. Semenjak menikah tak lagi bekerja di luar rumah. 

"Dok, saya punya sebuah permintaan."

"Iya, apa yang dapat saya bantu, pak ?"

"Saya minta semua ini dirahasiakan pada seluruh keluarga saya dok. Saya minta yang mengetahui hal ini hanya saya dan dokter saja."

Guru kami mengangguk pelan

"Baik pak, insyaAllah. Namun saya harap bapak tetap memeriksakan kondisi bapak secara berkala. Saya dapat membantu memberikan pada bapak obat-obat untuk mengurangi gejala-gejala yang bapak derita."

"Baik dok, insyaAllah saya akan rutin datang ke dokter untuk kontrol."

Hari-hari setelahnya amatlah berat. Guru kami hanya mengetahu sedikit saat beliau menangani pria itu untuk pemeriksaan rutinnya. Dan seiring berjalannya waktu, terlewatlah masa enam bulan itu. Kondisi pria itu memburuk dengan amat drastis. Ia kembali sekali lagi harus terbaring di tempat tidur itu lagi, di rumah sakit itu. 

Gejalanya makin parah. Guru kami sengaja berjaga malam itu. Tak biasanya dilakukan oleh dokter dengan derajatnya. Namun guru kami bilang bahwa ia telah memiliki keterikatan dan komitmen akan pasiennya. Khususnya pasien ini. 

Dan benarlah. Benar rupanya, malam itu ialah malam terakhirnya hidup di dunia nan fana ini. Malam itu, malaikat maut mencabut nyawanya. Segala usaha guru kami memberikan resusitasi tak membuahkan hasil. Dan sekali lagi, manusia tak bisa mampu mengalahkan kematian. Mungkin, karena memang hal ini bukan untuk dikalahkan.

Berhari-hari telah berlalu semenjak malam itu. Segala urusan soal pemakaman telah selesai dilakukan oleh istri dan keluarga pria itu. Namun pada sebuah pagi, datanglah sang istri beserta anaknya kepada guru kami. Sang istri hendak tahu soal kondisi suaminya. 

"Dok, punten, mohon maaf mengganggu. Saya hendak menanyakan soal almarhum suami saya. Yang dahulu pernah berobat kesini dan setelah pulang gejalanya membaik. Namun entah kenapa tiba-tiba memburuk beberapa waktu lalu hingga ia dipanggil yang maha kuasa. Dia tak pernah mau menceritakan setiap saya menanyainya. Karenanya, saya mohon dokter dapat memberikan penjelasan tentangnya."

Guru kami, pelan-pelan, menceritakan soal kejadian enam bulan yang lalu hingga permintaan khusus pria itu terhadapnya. Beliau berusaha selembut dan sejelas mungkin. 

Wanita itu, tertekuk lesu. Terduduk di kursi di sudut paviliun rumah sakit itu. Sembari menggendong buah hatinya satu-satunya, yang telah terlelap semenjak tadi. 

Guru kami diceritakan, bahwa memang pria itu amat lembut lagi santun. Ia amat tak pernah mau memberatkan siapapun sedikitpun. Diceritakan jua, bahwa dalam enam bulan terakhir ia amat giat bekerja hingga larut malam. Saat tiba akhir pekan ketika biasanya banyak pria seusianya beristirahat dengan tenang di rumah, ia berbeda. Ia giat berusaha mencari rezeki di luar pekerjaan sehari-harinya. Kemudian, entah ada angin apa, ia sempatkan secara rutin menemani anaknya sekolah di playgroup. Ia ambil cuti di perusahaan hanya agar dapat mengantar dan menjemput serta bermain bersama buah hatinya. Saat ditanya, ia hanya tersenyum simpul sembari menjawab, sedang ingin bermain bersama buah hatinya. Kemudian, yang paling mengejutkan, bahwa ternyata dalam enam bulan terakhir, dengan segala usaha-usahanya, ia meninggalkan bagi istri dan anaknya sebuah bangunan kos-kosan di sebuah tempat yang ramai lagi berpotensi. Semua itu, beserta rumah dan kendaraannya telah diatasnamakan dengan nama istrinya. Tak lupa, ternyata ia telah menyisihkan seluruh pendapatan dan tabungannya, untuk menjaminkan pendidikan buah hatinya kelak. 

                                                                          ***

Saat tahu kapan waktu itu datang, mereka-mereka, pribadi luar biasa. Dewasa lagi bijak, melaju melesat tanpa ragu menyiapkan segalanya. 

Saya pernah mendengar, terpidana hukuman mati di malam-malam terakhir menjelang eksekusi kematiannya, beberapa ada yang bertaubat dan mencoba kembali pada jalan yang diteguhkan yang maha kuasa. Beberapa menghabiskan waktu-waktunya dengan beribadah semampunya, sekeras-kerasnya, sebanyak-banyaknya. Sekhusyu'-khusyu'nya, mereka berusaha. 

Saat tahu kapan waktu itu datang, mungkin karena terasa dekat. Karena terasa tak banyak lagi waktu tersisa, maka mereka-mereka yang dewasa lagi bijak mengusahakan sebaik-baiknya. Tak membuang waktu dengan sesal lagi kecewa apalagi amarah dan depresi. Usahakan sebaik-baiknya karena ada yang harus dilindungi, ada yang harus ditinggalkan dengan tenang tanpa gelisah. 

Namun yang lebih menyentuh hati kami, bahwa sejatinya, bisa jadi waktu kami lebih singkat daripada enam bulan waktu pria itu. Waktu kami, yang belum ada petunjuk-petunjuknya, menyisakan kemungkinan esok pagi, nanti malam, sebulan lagi, setahun lagi atau bahkan sebentar lagi. 

Inilah hakikatnya soal takdir. Sudah tertulis namun rahasia. Karenanya, yang bisa dilakukan hanyalah memberi yang terbaik setiap saat. Dan bersiap-siap setiap saat. Maka tak ada waktu untuk cengeng dan bersusah hati, inilah waktu mendewasa dan membijaksana. Siapkan sebaik-baiknya saat waktu itu datang. Jauhi hutang, jika memang telah ada maka siapkan jaminan jika terjadi apa-apa. Jika ada tanggungan pada diri kita, maka siapkan contingency plan bila terjadi apa-apa pada kita. Dan yang paling esensial, mungkin, ialah menyiapkan bekal perjalanan sebaik-baiknya untuk perjalanan akhir itu. 

Yang paling cerdas diantara kalian ialah mereka yang mengingat kematian - Rasulullah SAW

Jakarta, dua puluh satu Desember dua ribu lima belas.