Politik kata aristoteles adalah
sebuah komunitas. Politik adalah tempat berinteraksinya populasi-populasi
berlainan untuk kepentingan. Dibanding menyorot politik laiknya mesin, ia lebih
suka berpandangan organik. Politik ibarat organisme, yang setiap bagiannya
berkesinambungan satu sama lainnya. Satu dengan lainnya seberapapun berbedanya
sejatinya saling membutuhkan. Sesederhana seperti realitas ekstrim sekuat
apapun pihak yang menang tetap harus ada pihak yang kurang kuat untuk kalah.
Namun baiknya, ia juga tegaskan selain saling membutuhkan, konsep komunitas ini
adalah kepentingan bersama dalam bentuk partnership.
Namun sejarah sepertinya tak melulu menafsirkan kata ‘bersama’ disini dengan
‘semua’. Ya. Kepentingan bersama tak harus untuk seiring dengan kepentingan
semua. Seperti yang diajarkan bangsa Yunani pada kita akan sistem-sistem
politiknya.
Pun
sejarah yang umumnya dikenal tidak banyak berpihak pada hasil baik peradaban
manusia, karena memang cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu
bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya , tapi tentang surga, dan jelas
tidak terjadi di atas bumi kita ini. Seperti kata sastrawan besar Pramoedya
Ananta Toer barusan. Tapi bukan berarti manusia semenjak pra sejarah hingga
kini tak kenal cerita senang soal mereka dan politiknya. Terus dilantunkan
dalam Al-Qur’an, sunnah, sirah dan sejarah-sejarah kebesaran kegagahan
kepahlawanan masa dahulu, di Indonesia sekalipun. Mungkin tak asing ditelinga
kita kisah gagah kesantunan berpolitik Muhammad Natsir dengan DN Aidit yang
sejatinya musuh ideologis nomor satu sang punggawa masyumi itu begitu pula dengan
Aidit sang pemimpin partai komunis. Persahabatan, dukungan serta solidaritas
Muhammad Natsir dengan Johannes Leimena dari partai kristen Indonesia yang tak
putus hanya ketika berpolitik hingga terus bersantun sampai renta. Kisah soal
kerendahan hati mayoritas panita persiapan kemerdekaan Indonesia atas kurang
senangnya pihak non muslim atas bunyi sila satu di awal juni 1945 lalu, lalu
mereka mengubahnya meski tetap mereka punya hak dan berkemampuan. Tapi mereka
mengubahnya demi tenang hati saudara setanah air namun beda iman itu.
Memang
banyak hal menarik jika kita benar-benar mengetahui sejarah. Bahkan hanya
sejarah negeri ini sahaja. Namun bukan itu fokus tulisan ini saya maksudkan.
Dewasa ini, demokrasi memang telah menjadi dasar pemerintahan di hampir seluruh
negara di dunia. Penemuan yang kata banyak pertama kali berasal dari Yunani ini
telah begitu banyak berpengaruh atas jatuh bangunnya dunia hingga abad XXI.
Demokrasi memberi kuasa bagi sesiapa tak peduli preman atau professor akan
nasib bangsanya. Meski pada akhirnya demokrasi akan mengakibatkan
perbedaan-perbedaan pada masyarakat makin terang bahkan cukup kuat untuk
menyatukan dalam sebentuk golongan yang membela kepentingan masing-masing
perbedaan tersebut. Yang sayangnya makin kemari cenderung mengikis kecerdasan
pihak-pihak didalamnya dengan irasionalitas, fanatisme dan subjeksinya.
Sebelum
jauh-jauh berbicara pada politik dengan skala kenegaraan, sejatinya politik
dalam kampus dapatlah menjadi miniatur dan acuan politik masa depan negara ini.
Dalam argumentasi barusan, sejujurnya muncul pertanyaan. Apakah politik kampus
yang mempengaruhi politik kenegaraan di masa depan atau politik kenegaraan yang
justru kini mempengaruhi politik kampus ? jika asosiasi pertama yang berlaku,
maka politik kenegaran di kemudian hari ada kemungkinan untuk berubah, entah
lebih baik pun buruk. Jika asosiasi kedua yang terbukti, maka politik
kedepannya akan sama sahaja seperti sekarang ini. Beralasan bahwa politik
kampus adalah bayi yang dirawat oleh politik kenegaraan yang telah dewasa.
Sebagaimana teorema perkembangan, dan teori bloom bahwasanya lingkungan amat
berpengaruh terhadap prospek masa depan seorang ‘bayi’.
Karena
saya tak dapat menemukan referensi yang sesuai untuk jawaban kebingungan saya
diatas, maka marilah kita sekedar membahas dulu bagaimana situasi dan kondisi
politik kampus masa kini. Dengan tahunya kita realitasnya maka dapat terbayang
prospek masa depan bangsa dengan asumsi manapun akan asosiasi diatas.
Dalam
4 tahun kemahasiswaan ini, dua kata yang dapat saya ungkapkan atas politik
kampus adalah solidaritas atau impulsivitas. Hanya ada dua kemungkinan
keberjalanan politik kampus saat ini tampaknya, yang pertama atas hasil kerja
solidaritas. Atau kemungkinan yang kedua atas hasil kerja perseorangan individu
atas impulsivitas. Yang satu cukup bersistem sedang yang lain cukup bertokoh.
Solidaritas disini dimaksudkan ialah kemahasiswaan yang dibangun atas kepentingan
bersama sebuah golongan. Namun tidak baik berstigma negatif terlebih dahulu.
Ada kalanya kepentingan bersama dapat didefinisikan kepentingan semua. Namun
ada kalanya jua tidak. Saat kepentingan bersama berarti kebermanafaatan bagi
sebahagian namun kerugian bagi yang lainnya.
Jalannya
kemahasiswaan kampus yang saya amati amat dominan peran sisi solidaritas ini.
Sebuah solidaritas mahasiswa demi tujuannya, yang beberapa mengatakan mulia,
meski yang lain belum tentu sepandangan dan setuju sahaja. Solidaritas ini
mengusahakan visinya tercapai dengan beberapa cara. Secara langsung maupun
tidak langsung. Secara tidak langsung, dengan menstimulus untuk berpikir dan
beramal searah dengan visi solidaritas. Selain itu biasanya solidaritas telah
menginfiltrasi sistem kaderisasi kemahasiswaan, sehingga visi-visi tersebut
dapat diintegrasikan pada program kaderisasi. Sehingga hasil-hasil kaderisasi,
dengan rasionalisasi solidaritas itu atas visinya, dapat berpikiran searah
tanpa musti solidaritas itu turun langsung.
Namun ada juga saat-saat dimana
tidak ada cara lain selain harus solidaritas itu turun langsung. Namun bukanlah
perkaran instan dan sederhana. Tiap-tiap pribadi dalam solidaritas telah
dididik sedemikian rupa agar siap dari sisi visi maupun kompetensi menjalankan
pemerintahan kampus. Dari amanah terkecil yang hanya berpengaruh pada sedikit
bagian kampus hingga amanah terkuat untuk seorang mahasiswa dapat dipersiapkan.
Dengan pemupukan pemahaman berkala dan terus menerus bahkan hingga mati akan
visi dan tujuan solidaritas. Pribadi-pribadi itu setelah menyelesaikan
amanahnya berkewajiban kembali turun untuk mendidik penggantinya untuk
pemerintahan berikut. Begitu bersistem dan tertata rapi. Tidak bergantung pada
ketokohan seorang yang memang telah baik semenjak awalnya, namun semua bahan
mentah dipoles, diasah dan dipertajam dengan pengalaman-pengalaman yang
terencana dan matang. Terencana di satu sisi dan responsif akan setiap masalah
di sisi yang lain. Saya rasa, inilah salah satu bentuk manajerial kemahasiswaan
terbaik dengan tingkat komitmen yang cukup tinggi mengingat remaja atau dewasa
muda ditengah studinya yang tak jarang memakan waktu tidak sedikit diharuskan
mengemban tugas berat kemahasiswaan. Tidak banyak yang dapat melakukan kerja
terorganisir tak terputus seperti ini. Terlebih pada masa kemunduran kedewasaan
saat sekarang ini. Secara sosiologis, manusia saat ini memang lebih lambat
dewasa dibanding dahulu, yang diawal dekade keduanya biasanya telah menikah,
mapan dan punya pekerjaan. Solidaritas ini tak jarang tereksternalisasi dalam
kelompok/himpunan/gerakan mahasiswa dengan dasar ideologis tertentu. Mahasiswa nasionalis,
mahasiswa liberalis, agamis dan sebagainya. Selain solidaritas ini, bentuk
lainnya adalah impulsivitas seperti yang tersebutkan diatas. Dalam politik ini
pemerintahan dijalankan oleh pihak yang tak memiliki kelompok apapun namun
terpilih dikarenakan kecerdasannya, kompetensinya, pesonanya dan kriteria
lainnya. Pihak ini biasanya menempa diri secara sporadis atau kadang terencana
meski dengan regimen pribadi yang disusun sendiri. Pihak ini berkemungkinan
menjalankan pemerintahan dengan baik asalkan memiliki kemampuan leadership yang
mumpuni dan jejaring teman yang baik. Dengan demikian dapatlah jalan
pemerintahan kampus dengan baik. Namun kekurangan terbesar politik ini ialah
dari sisi kaderisasinya. Yang dibawa dalam hal ini adalah ketokohan yang hebat
dari seorang mahasiswa. Belum tentu visi juga. Karenanya, akan sulit
menciptakan mahasiswa dengan spesifikasi itu lagi untuk pemerintahan selanjutnya.
Sehebat apapun meniru tak akan dapat lebih baik dibanding yang aslinya. Dan jika
tidak lebih baik tentu pemerintahan mahasiswa dapat menurun. Sedang membentuk
mahasiswa hebat berlandaskan visi yang sama lebih mudah. Karakteristiknya boleh
jadi berbeda, pesonanya, kepemimpinannya tak harus sama, asal visi sejalan dan
tujuan tercapai dengan metodologi yang sesuai dengan visi tersebut.
Solidaritas ini selain membentuk
pemerintahan yang lebih stabil juga telah membantu menciptakan manusia-manusia
mumpuni dikemudian harinya. Terlebih sebiah solidaritas yang menginfiltrasi
seluruh aspek kehidupan kampus. Perkembangan memang dirasakan terkuat oleh
anggota solidaritas, namun mahasiswa lainnya di kampus yang berada dalam
pemerintahan kampus juga turut merasakan perkembangan atas integrasi visi
solidaritas. Pasalnya, apakah perkembangan ke arah yang lebih baik atau buruk.
Dalam solidaritas ini, perjuangan
keras bersama tak jarang menimbulkan kekaguman dan persatuan serta kekeluargaan
pada anggota sesama solidaritas. Kesetiakawanan bahkan penghormatan akan
senioritas tak jarang menjadi metodologi kaderisasi. Namun kedekatan ini
dikemudian hari dapat berpotensi menimbulkan resiko subjektifitas. Laiknya terungkap
dalam peribahasa,better the devil you
know, seburuk-buruknya orang lebih baik yang anda kenal baik. Hal ini dapat
berpengaruh pada kehidupan kemahasiswaan, karena dalam agenda-agenda
kemahasiswaan, akan ada kecendrungan untuk solidaritas turun langsung dan
menggunakan kadernya sebagai pemangku kebijakan kemahasiswaan. Tendensi ini
terkadang diselubungkan dengan maksud untuk mendidik kader tersebut dengan
amanah yang diembannya. Dibanding mahasiswa lain yang lebih siap dari sisi
kompetensi, kepemimpinan pun manajerial. Ini salah satu alasan terbaiknya. Namun
terkadang tak jarang tendensi ini bertujuan penguasaan total, oligarki politik,
dan pembangunan imperium kekuasaan solidaritas. Tak jarang beberapa solidaritas
lebih mengedepankan ‘orangnya’ terpilih dibanding nasib kemahasiswaan lebih
baik. Jika dilakukan dengan cara-cara yang baik dan terhormat, maka silahkan
saja. Kampanye akan kelebihan yang mumpuni, menarik perhatian dan cerdas. Kreatifitas
dalam bertarung pada pesta gagasan dengan yang lain. Ini tidak masalah. Yang menjadi
masalah ialah menggiring opini publik hingga membuat publik seakan membeli kucing
dalam karung. Menutup fakta penting demi kemajuan kemahasiswaan bahkan
terkadang berbohong. Dalam titik ekstrim bahkan memanfaatkan anggota
solidaritas lain yang sedang berada pada posisi strategis untuk pemenangan.
Juga tak jarang biasanya keangkuhan
merebak dalam solidaritas. Meski tak semua seperti ini. Dalam solidaritas ini
terpancar semangat eksklusifitas dan pernyataan tidak langsung akan diri lebih
baik dibanding yang lain. Lebih baik dibanding solidaritas lain atau mereka
yang tak bersolidaritas. Subjeksi yang telah ada sebelumnya diperparah dengan
fanatisme. Waham ‘pokoknya’ dikumandangkan, keabsolutan pada visi dan agenda
solidaritas yang tak jarang menyebabkan benturan keras dalam kemahasiswaan.
Fanatisme pada tokoh yang dikenal dibanding yang tidak dikenal dapat
mengakibatkan pembelaan mati-matian tak peduli dosa tokoh dekat tersebut atau
prestasi tokoh lain. Kurang lebih seperti yang terjadi dalam perpolitikan
kenegaraan yang terjadi saat ini. Meski tidak semuanya.
Sejujurnya, tidakan tidak baik
dampak dari solidaritas ini adalah sebuah serangan pada ilmu pengetahuan yang
menjunjung tinggi rasionalitas. Terlebih dilakukan oleh pribadi yang tengah
dididik oleh institusi ilmu pengetahuan. Mahasiswa. Sesungguhnya banyak
politisi yang fanatis dan subjektif adalah lulusan perguruan tinggi. Karenanya,
jika perpolitikan masa kampus tetap seperti ini sahaja, maka dapat diasumsikan
perpolitikan masa depan akan tidak banyak berubahnya.
L’histrorie se repete. Sejarah akan selalu berulang.
Dunia politik kampus harusnya mengajarkan penghargaan pada orang lain dan rasionalitas serta keadilan.Kelebihan gagasan orang lain
musti diapresiasi dan menjadi catatan bagi diri sendiri agar menjadi
lebih baik. Bukan ditutupi atau didebat sekuat hati. Begitu juga kelebihan dari
anggota solidaritas sendiri. Inilah rasionalitas. Namun terkadang kebanggaan
dan harga diri terlalu rendah untuk dapat mengakuinya. Inilah potensi ancaman
dari bentuk perpolitikan solidaritas. Namun bukan berarti tanpa penyelesaian. Masalah
ini dapat diatasi dan ditangani dengan penanaman nilai-nilai keilmiahan dalam
metodologi solidaritas tersebut.
Orang terpelajar itu musti adil bahkan semenjak dalam pikiran, kata penulis besar Pramoedya Ananta Toer.
Dengan pengajaran perpolitikan
kampus yang diperbaiki, maka kemunduran karakter politik bangsa ini dapat
dicegah dan dibawa ke arah yang lebih maju. Laiknya ungkapan seorang ulaman,
Hasan Al Banna, bahwa yang harus difouskan adalah persamaan, bukan pada
perbedaannya. Dan belajar dari Muhammad Natsir dan DN Aidit, perbedaan
pandangan bukanlah alasan untuk berpecah dan menjadi motif bermusuhan. Betapa indahnya
kesantunan politik zaman dahulu diawal kemerdekaan Indonesia, sehabis
berapi-api saling beradu argumen, kemudian naik sepeda berboncengan dan minum
kopi bersama. Kedewasaan mental berpolitik sudah harus tertanam semenjak
mahasiswa. Selain menghambat kemunduran kedewasaan secara sosiologis, juga
untuk perpolitikan Indonesia yang lebih baik. Dan mahasiswa ialah salah satu
komponen pentingnya, seperti yang diungkapkan oleh Phillip G Altbach,
bahwasanya mahasiswa di negara berkembang hakikatnya punya peran besar
disebabkan demokrasi yang belum berjalan dengan baik sepenuhnya. Fungsi representasi
legislatif terkadang masih membutuhkan peran mahasiswa untuk menjembatani
keinginan rakyat. Ya, siapa tak lebih baik daripada golongan terpelajar yang
belum terlalu banyak dijajah globalisasi
dan keburukan manusiawi selain mahasiswa.
Selain mengedepankan rasionalitas,
sikap ramah dan kesantunan berpolitik adalah juga tetap harus dilestarikan atau
bahkan dibangkitkan kembali. Globalisasi adalah pedang bermata dua, yang bukan
tak mungkin tengah mendidik generasi saat ini dengan kebudayaan yang tak
semestinya. Pun begitu dengan kemajuan teknologi. Akses berpendapat yang begitu
bebas bahkan dapat diperdengarkan pada seluruh dunia dapat menjadi bumerang,
terkhususnya pengguna terbesarnya kini sedang berada pada usia pembentukan
karakter dan mental yang akan bertahan seumur hidupnya nanti. Tanpa filtrasi
dan regulasi, maka bukan tidak mungkin ‘serangan’ terhadap ilmu pengetahuan
diatas teramplifikasi bahkan lebih terorganisir dengan teknologi. Hingga mungkin
suatu saat nanti dapat menjadi budaya dan peradaban. Karena pergeseran nilai
terus terjadi dan tak sedikit yang menjadi budaya belakangan ini. Yang dulunya
tabu kini adalah kebiasaan.
Globalisasi dan kemajuan teknologi
sejatinya adalah pedang. Ditangan pecundang, ia hanya akan mengendalikan
tuannya bahkan akibatkan kematian pada diri sendiri. Ditangan pemenang, ia yang
akan dikendalikan. Yang dibutuhkan kini adalah mahasiswa yang dapat bergaul
sebaik pergaulan bangsa barat namun juga sesantun dan seberadap bangsa timur. Akulturasi
dan akumulasi kebaikan dari setiap bangsa akan menciptakan kemahasiswaan yang
terbaik. Inilah idealnya kebutuhan masa kini. Bukan fanatis, bukan ketinggian
hati dan keangkuhan solidaritas atau personal.
Di penghujung posisi saya sebagai mahasiswa, saya bertanya pada mereka yang membaca, apa kita tidak menghina jerih payah ilmu pengetahuan dengan subjeksi dan pembenaran ?
Pada sebuah malam yang sepi,
Bandung Juni 2014