Hampir 60 tahun yang lalu, sejarah ditorehkan di kota ini, Sang Paris van Java yang melegenda. Kota ini menjadi saksi bisu 29 perwakilan suku bangsa yang peduli pada dunia.

Tentu kita semua tahu bagaimana konferensi Asia Afrika terlaksana. Kita tahu betapa hebatnya negeri ini beserta negeri-negeri yang baru merdeka begitu berani tak hanya berwacana namun benar-benar mendeklarasikan bantuan dan pengakuan atas negara-negara yang tertindas paska perang dunia ke 2. Negara-negara Asia dan Afrika yang seakan hanya jadi komoditas bagi negara-negara yang sibuk berperang demi kepentingan pribadinya.

Semenjak dahulu tahu soal peristiwa ini karena tertera pada buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah. Tapi baru kemarin rasanya benar-benar terbayang esensi peristiwa ini. Diceritakan oleh seorang guru kami di Mesjid At-Taqwa, KPAD Gegerkalong Bandung, bahwa saat beliau sedang menempuh perkuliahan, beliau berkesempatan menemani seorang delegasi dari Afrika. Tepatnya pada tahun 1990.

Sang delegasi minta diantarkan ke Gedung Merdeka yang terletak di jalan Asia Afrika. Saat itu hari telah malam, cukup malam hingga tak banyak lagi kendaraan lalu lalang. Turun dari mobil, sang delegasi kemudian tertunduk sejenak sembari berdoa, kemudian lantas ia memberi hormat di depan Gedung Merdeka. Cukup lama sembari menetes air matanya.

Setelahnya, beliau berujar pada guru kami, "Apa yang terjadi dalam Gedung ini puluhan tahun lalu, telah menyelamatkan bangsa kami dari penindasan dan menghantarkan kami menuju kemerdekaan."

Apa-apa yang terjadi di dalam gedung tua dan renta itu pada tahun 1955 telah mencegah anak dan cucunya mengangkat senjata dan menggantinya dengan kertas dan pena. Apa-apa yang dilakukan oleh pendahulunya dan pendahulu kita disana, entah sadar atau tidak, telah menjadi amal jariyah yang manfaatnya terus terasa hingga anak cucu mereka saat ini. Apa-apa yang dilakukan oleh negara-negara yang terbilang masih amat belia usianya telah menjadi kenyataan tak tergantikan, meski dilupakan sekalipun.

Mereka tak takut betapa kuatnya kolonialisme dan neokolonialisme yang berkembang saat itu. Mereka menggalang kekuatan bersama dan menjadi satu pada kesamaan sikap; menolak penjajahan.

"Of all of the hazards, fear is the worst" - Sam Snead

Begitu rindu rasanya jika berkaca pada sejarah pendahulu negeri ini. Keberanian mereka, kepedulian mereka, dan kegigihan mereka rasanya belum dapat digapai oleh penerusnya. Jika dahulu negeri ini dapat dihormati dan dihargai, dapat mencipta gebrakan-gebrakan yang tak hanya bermanfaat bagi negeri sendiri namun juga negeri-negeri lain, maka rasanya hal-hal ini telah langka akhir-akhir ini. Kita menjadi sibuk akan pertikaian sesama bangsa, perdebatan-perdebatan yang dilandasi penolakan atas kebenaran dan berorientasi pada pembenaran. Kita menjadi hamba bagi eloknya citra dan pandangan orang pada diri. Kita seakan lupa bahwa kita harusnya lebih dari ini.

"Pemimpin sejati tak takut jikapun dirinya tak dikenali. Yang dia khawatiri ialah apabila ia tak mengenal siapa yang dipimpinnya" - Zhuge Liang

Perjuangan pendahulu negeri ini belum selesai. Penindasan, baik nyata maupun terburam realita, masih terus terjadi di dunia. Salah satu negeri yang teriakannya paling keras soal kemerdekaan kini masih ditindas. Ialah Negeri nan subur dan elok, Palestina yang masih tertindas hingga detik ini. Komemorasi konferensi Asia Afrika ke 60 harusnya tak hanya jadi seremoni dan gegap gempita semata. Riuh rendah teriakan-teriakan merdeka harus terus menggema di Paris Van Java. Sekali lagi dan untuk seterusnya. Yang diharapkan tak hanya indahnya kota Paris van Java, tapi lebih penting soal sikap kita. Akankah masih sejalan dengan pendahulu kita, atau ini hanya pemanis laiknya gincu semata ?

Tak usah takut pada manusia. Tak usah ngeri pada apa yang dimiliki lawan.

من ظن أن الباطل سينتصر على الحق
فقد أساء الظن بالله

Siapa mengira kebatilan kan menang atas Al Haq; ia buruk sangka pada Allah.

والحق منصوروممتحن
فلا تعجب فهذي سنة الرحمن

Kebenaran kan dimenangkan, pun juga diuji. Tak usah heran, keduanya ketetapan Ilahi.

Ibn Qayyim

Kepada Bapak Pemimpin Negeri, yang dahulu pernah berjanji soal dukungannya pada Palestina, mari sekali lagi menjadi pemberani, mari sekali lagi dan untuk seterusnya teguh tanpa henti dan menjadi jantan tunaikan janji. Banyak yang meragukan bapak, banyak yang seakan mengendalikan dan membisiki bapak, banyak bahkan yang mencaci bapak. Tapi kami paham bahwa hanya Allahlah yang benar-benar tahu siapa diri bapak dan apa saja amalan bapak. Kurang dari 5 hari lagi, napak tilas tonggak sejarah dunia akan dilaksanakan atas kesadaran bapak. Maka jangan kecewakan kami, buktikan bahwa kita adalah negeri para pemberani.

Renungan subuh, Senin 20 April 2015
#supportKAA2015
#freeAlQuds