Malam semakin tega rupanya. Dingin yang menghujam hingga tulang menyerang pemuda berbaju tipis yang sedang menyendiri di angkot Ciroyom-Sarijadi. Pemuda itu kabarnya habis pulang mengaji.

Takdir begitu keras rupanya. Kita yang sering terlupa betapa teguhnya realita. Begitu tersadar sudah tertampar sahaja olehnya. Lalu lunglai dan hanya mampu bermuram durja.

Bulan februari yang baru setengah jalan, namun uang kiriman yang telah habis lebih dari separuh bahagian, sedang musibah terus datang menggembungkan pengeluaran.

Dilain sisi, rasa ingin mandiri begitu membuncah. Dua puluh dua tahun hidup dan masih bergantung manja pada orang tua. Anak rantau minang yang biasanya terkenal akan kemandiriannya di negeri orang. Sedang diri ini berkebalikan. Siapa pula yang tahan ?

Usaha-usaha sepertinya belum banyak buahnya. Sebahagian besar bahkan tak jelas kabarnya. Sedang disana sini amanah lain telah menunggu untuk ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Maka diri yang hina ini teringat lagi pada nasihat baginda Rasulullah yang mulia. Bahwasanya hidup hanyalah dihadapi dengan syukur dan sabar sahaja. Syukur tak hanya disaat senang dan sabar tak hanya disaat sulit. Sabar ialah bentuk syukur atas nikmatNya berupa ujian dalam keadaan yang menyusahkan jiwa dan raga. Pun syukur ialah sebentuk sabar akan karuniaNya pada keadaan yang menyenangkan jiwa dan raga.

Wahai diri, keberkahan tak berarti menjamin hidup ini tanpa pahit dan gulana. Keberkahan dapat hadir pada mereka yang jalani derita dengan sabar mengiringinya. Keberkahan dapat hadir pada mereka yang diuji dengan kesenangan namun syukur yang dilakukannya.

Maka pada siapakah yang lebih pantas jiwa dan raga ini disandarkan ?

Bukan, bukan pada orang tua. Bukan jua pada diri sendiri sahaja. Bukan juga pada atasan pun pimpinan. Bukan jua pada panutan.

Hanya pada Allah semata lah diri ini harusnya berserah.

Ini adalah saat dimana diri ini berusaha berniaga namun tak banyak didapat justru musibah datang membawa hutang. Ini adalah saat dimana diri ini berharap mewujudkan mimpinya menjadi ahli ilmu namun justru dihempaskan oleh realita. Ini adalah saat dimana diri ini mencoba memperbaiki akhlaqnya namun terus jatuh pada perangkap yang sama.

Namun pun ada yang dapat dipelajari dari diri ini ialah, bahwa diri ini masih diberi kesempatan untuk bangkit dan terus berusaha. Pada apapun yang dikehendakinya. Lantas berusahalah sekuatnya, lalu berserahlah selepas-lepasnya hanya padaNya.

Tidak ada yang dapat mengalahkan kita kecuali Allah semata - Indra Sjafri