Tetiba aku teringat akan ujian lisan pertamaku di fakultas kedokteran. Ujian lisan yang menjadi momok bagi semua mahasiswa baru saat itu, entah karena cerita senior-senior, atau mungkin karena ini memang ujian pertama yang hendak dihadapi oleh mahasiswa baru fakultas kedokteran. Baru delapan minggu kami kuliah sudah harus dituntut menjelaskan penyakit dan ilmu klinis dasar pada dokter-dokter nan bijak lagi berpengalaman itu. Dan tak lupa, harus dalam dua puluh menit kami jelaskan semuanya.

Sontak, semua sibuk bersiap. Ada yang siang malam tak keluar kamar sibuk membaca buku-buku tebal itu. Ada yang sibuk merapalkan kata-kata, umpama dukun yang sedang membaca mantra, kapanpun, dimanapun dan tak peduli entah ada siapapun.

Lantas tibalah saat-saat yang telah dipersiapkan itu hingga keluarlah hasilnya, ada yang menyunggingkan senyum bahagia. Ada yang lega dan hanya tersenyum tipis saja. Ada juga yang tertunduk sedih.

Semenjak sekolah menengah terbiasa bahwa hasil ujian ialah kompetisi yang sifatnya keras, terbawa juga hingga di kuliah. Masih ada rasa sedih saat nilai tak baik sedang yang lain baik dan kadang bahkan ada rasa senang jika nilai lebih baik daripada yang lain. Namun, kulihat seorang kawan yang entah mengapa begitu besar hatinya, begitu lapang dadanya, dan begitu besar jiwanya. Semuanya ia tanyakan dengan baik hasil nilai teman-temannya, lantas ia beri selamat dan semangat. Ia bekali sebisanya untuk yang belum lulus agar berhasil di ujian ulangan.

Ketika kutanya, jawabnya, "Sejatinya ini sudah bukan sekadar soal kompetisi lagi. Ini sudah soal kemanusiaan. Ini soal kedokteran. Tak ada tempat bagi ego disini. Wajah-wajah yang kita lihat di depan kita saat ini, baik yang saat itu lulus maupun tidak, bukan tak mungkin di masa depan akan menyelamatkan kita, orang tua kita dan oran-orang yang kita sayangi lainnya. Setidaknya merekalah yang akan menyelamatkan umat. Karenanya, kenapa kita tak optimalkan mereka, semangati mereka bahkan selamati mereka ?"

Aku hanya bisa tersenyum simpul. Teman ini, kutahu, ia akan jadi orang besar di masa depan. Aamiin ya Allah.

Kenangan ini yang kuingat saat melihat teman-temanku, yang dahulu membersamaiku memasuki fakultas kedokteran, di wisuda dan di sumpah. Tak dapat dipungkiri, ada pikiran-pikiran soal perandaian dan imaji akan waktu-waktu itu, andai saja ini, andai saja itu dan sebagainya. Tapi sekali lagi, harusnya diri sadar, laiknya ujian lisan dahulu, bahwa hal ini bukan sekadar kompetisi lagi. Ia lebih dari itu. Dan bukankah jadinya aku telah benar-benar memenuhi segala hasrat itu ? Dan segala roman soal perjuangan-perjuangan itu, tak peduli bagaimanapun beratnya, telah menjadi bagian dari hidup yang kudambakan, hidup sepenuh-penuhnya hidup.

“IN THE END… We only regret the chances we didn’t take, the relationships we were afraid to have,and the decisions we waited too long to make.” - Lewis Carol, Author of Alice's Adventures in Wonderland
Kemudian, teman itu berujar lagi, "apabila kita mendapati teman kita mendapat nilai yang baik, harusnya kita bangga, dan lega. Bahwa generasi dokter di masa depan kelak akan dapat melanjutkan tugas berat dokter-dokter masa kini. Amanah berupa kesehatan umat itu tak jatuh pada orang-orang yang salah." 

Sekali lagi, semoga keberkahan Allah terus mengalir kepadamu, Aamiin ya rabb. 

Dan kini, rekan seperjuangan itu telah benar-benar mengambil amanah itu, menanggung beban kesehatan umat, kesehatan bangsa. Mulut yang membuka mengatup membaca sumpah, gedung besar agung graha sanusi menjadi saksi, tak lupa malaikat di kanan kiri. Dan yang paling istimewa, ada orang tua serta keluarga mengharu biru dari belakang. 

Allah SWT berfirman,

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh,” (QS. Al-Ahzab: 72).

Aku menyaksikan orang yang kucintai menjalani hidup memegang amanah itu, hampir seluruh hidupku. Baginya, tak ada alasan soal inkompetensi, tak ada alasan sedang istirahat, sedang bersama keluarga, dan sebagainya. Signifikansi dari sumpah itu amatlah besar. Detik menit terlalui semenjak sumpah terucapkan ialah detik menit pengabdian. Detik menit itu adalah soal kebermanfaatan. Maka, siapakah yang lebih baik dari kalian, wahai kawan, orang yang hidupnya, kerjanya memberi manfaat ?  :)

Bandung, sembilan November dua ribu lima belas.