Kembali lagi ke tanah itu. Tanah para pejuang, tanah yang kucinta, kujaga dan kubela. Pun kiranya tanah yang ditinggalkan bukan berarti tak dicinta juga dijaga lagi dibela. Hanya saja tanah yang dipilihkan Allah untuk menjadi tempat kita lahir, tempat kita tumbuh, dan tempat bermukim orang-orang yang kita cintai, didalam tanahnya pun diatas tanahnya, pastilah istimewa. Di tanah itu, hidup mengombang ambingkan diri nan lemah ini, kesana kemari. Dengan seluruh bujuk rayunya, seluruh godaannya untuk mengganggu mimpi, juga seluruh hikmah, kisah, dan susah payahnya mengejar mimpi.
Jan dikiro mudah batimbakau,
Maracik maampai pulo.
Jan disangko mudah pai marantau,
Basakik marasai pulo.
Sebuah pantun yang terus jadi teman perjuangan. Pengingat lagi penyemangat. Pembela lagi penggugat, saat mulai malas dan berlepas. Namun jika berbicara soal sakitnya merantau, merasainya merantau, maka tak ada yang terbayang dalam otakku selain sosoknya. Menulis tentangnya, di blog ini, sejatinya melanggar sumpahku untuk tak memperbarui isi blog sebelum tulisanku ada yang menghasilkan. Namun, some people are worth vow-breaking for. Beberapa orang memang pantas dikenang, ditulis, bahkan didoakan tak peduli apapun.
Si Mbah. Begitu kami menyebutnya. Maka soal kesakitan, kesusahan, kesulitan dan segala macam kepahitan yang kutemui di tanah rantau, maka si Mbah adalah antitesisnya. Tak kurang banyak masalah ia hadapi; keluarga, keuangan, pekerjaan, hubungan sesama manusia, kesehatan, hampir semua masalah yang dapat diahadapi manusia, datang padanya. Beberapa menghampiri bersamaan sekaligus. Namun, dibalik itu semua, tak kurang juga sabarnya, senyumnya lagi syukurnya. Sikap ini, ketegaran dan keteguhan ini, tak pernah gagal menjadi pelecut semangat bagi diri yang lemah dan papa ini. Agar tak terpana melihati dan merasai duri, namun juga menikmati bagian indah kelopak sang mawar nan menawan hati. Tak tertunduk sedih akan tenggelamnya mentari namun juga bersyukur melihati sang rembulan serta bintang gemintang yang menghiasi langit hingga pagi. Tak juga berkesah akan gelapnya malam namun bersabar menunggu fajar segera datang. Untuk teguh, kuat, sabar dan bersyukur.
Semenjak mengenalnya, aku tak pernah ragu lagi soal rezeki.
Kadang,
Belum terbit sang surya di ufuk timur, pintu rumahnya telah diketuk orang. Anak mereka meriang dan sakit semalam, agar si Mbah dapat menjenguk dan membantu memijitkan, begitu pinta mereka.
Setelah selesai dari sana, sudah menunggu langganannya, ibu-ibu yang secara rutin setiap pagi meminta dipijitkan juga. Ibu-ibu, laiknya mayoritas penghuni komplek itu, yang telah lanjut usia dan banyak sakitnya. Kadang kliennya seorang ibu istri purnawirawan jenderal. Kadang juga temannya saja. Meski kadang juga anak-anak dan cucu mereka. Tangannya yang cekatan lagi lihai telah terkenal seantero komplek. Bahkan untuk mereka yang tak tinggal disana lagi, terkadang ada yang masih sering berkunjung hanya untuk merasakan kembali keajaiban tangan itu.
Pun begitu, secara hitung-hitungan matematika, kutahu bahwa tak banyak yang didapatnya sehari-hari. Terkadang banyak yang dibantunya hari itu, terkadang tak ada sama sekali. Entah karena memang belum ada yang meminta atau memang dirinya yang sedang tidak enak badan. Kuberi tahu bahwa usianya juga taklah muda. Sebaya dengan mereka yang dipijitnya. Karenanya untuk menambah-nambah pemasukannya, maka disewakannya lah bagian rumahnya, yang bagian indahnya, bagian luasnya dan bagian eloknya, pada orang lain. Dan disitulah posisi kami.
Tetapi kadang tak seindah itu juga. Setiap penghuni baru berganti selalu ada lagi yang harus dibenahi, yang harus diperbaiki. Tapi bukan hal ini yang meneguhkan keyakinanku soal rezeki. Bahwa rezeki bukan soal apa yang diusahakan tangan sendiri saja. Bahwa rezeki, insyaAllah akan terus ada jika memang belum meregang nyawa. Bahwa rezeki, akan mencari sang empunya tak peduli betapapun jauhnya.
Ia bercerita, bahwa setiap bulannya hampir semua orang yang menggunakan jasanya adalah orang yang berbeda. Bukan itu-itu saja. Memang karena soal pijit memijit kiranya bukan kebutuhan pokok apalagi rutin. Namun yang menarik, meski banyak yang menganggap begitu, insyaAllah ada saja tiap hari yang meminta tolong akan jasanya. Meski ia tak menargetkan, meski ia tak mempromosikan, meski banyak saingan.
Pun ada kiranya, saat-saat ia tak mampu melayani klien-kliennya, saat problema hidup begitu beratnya membebani, saat-saat terberat yang mampu dilalui seorang ibu, bahkan seorang manusia; maka tak berarti bahwa rezeki terhenti jua. Silih berganti, kerabat, rekan dan teman berkunjung menasehati. Memberi semangat sepenuh hati, hingga juga ikut berempati akan masalah hidup yang ia hadapi. Tak jarang mereka-mereka yang awalnya datang bertujuan menghibur lagi menyenangkan hati, pulang dengan wajah berlinang air mata akibat berempati. Merasai juga setetes ujian dari yang maha kuasa pada si Mbah, yang dapat melinangkan air mata yang mendengarnya. Termasuk kami. Namun, salah satu dampak luar biasa dari empati lagi silaturrahmi, ialah terkadang ia dapat menyentuh hati, menggerakkan tangan, hingga melangkahkan kaki untuk bertindak, membantu dan memberi. Ada yang datang untuk sekadar menjadi pendengar yang baik. Ada yang datang untuk menjadi guru kehidupan yang baik, mengajarkan banyak hal, menyarankan ini dan itu. Tapi ada juga yang datang menggenapi banyak kebutuhan si Mbah, saat sebagian besar waktunya ia habiskan di tempat tidur. Golongan yang terakhir ini, terkadang membawa beras, lauk pauk, buah-buahan hingga santunan. Terkadang juga masakan. Mungkin dapat dianggap sebagai buah atas akhlaq baik yang terus dipraktikan si mbah pada siapapun. Maka akhlaq baik dapat menginfeksi, orang baik dapat disenangi, hingga saat sakitnya dan susahnya ditanggapi lagi dibantui. Mungkin begitu.
Kadang meski badai telah berlalu, ada yang tetap secara rutin membantu. Menjadikan sedekah rutin pada si Mbah sebagai jalan memurnikan harta pada Allah. Namun kadang hal itu ditolaknya, beralasankan ada yang lebih pantas disantuni daripada dirinya. Kadang juga saat terlampau segan ia menolak, ia optimalkan santunan tersebut pada mereka-mereka yang membutuhkan. Yang dalam kacamatanya, lebih pantas. Kadang lancang kubertanya, kenapa tidak segala bantuan yang tetap diberikan banyak orang itu ia tabung, atau ia gunakan untuk hal-hal yang 'lebih' harganya demi kepentingannya. Ia, dengan penuh keteduhan menjawab,
"Nak, makanan yang didapat atas usaha sendiri, betapapun sederhananya dan murahnya, lebih nikmat dibanding makanan mahal pemberian orang. Kemudian, beberapa orang bahkan ndak makan apa-apa seharian. Kita yang diberi karunia oleh Allah untuk mengetahui kondisi mereka, punya tanggung jawab atas mereka."
Pada kondisi yang lain, saat ia sehat, saat tak begitu banyak masalah di pikirannya, saat ia mampu bekerja; kadang tiba juga saat ujian rezeki itu datang. Ketika tak ada kliennya satupun memanggil juga tak ada santunan dari orang lain, namun ia tetap tenang setenang gunung. Tak ribut pun berkeluh laiknya gemuruh. Tetap begitu meski bulan dan minggu berlalu. Ia tetap tenang, meski terlihat jelas oleh kami ketika ia berhemat. Variasi lauk yang berubah dari segi jenis dan kuantitas di meja makannya tak dapat luput dari perhatian kami. Kadang ditengah kesibukan, kami berbagi padanya, masakan kami yang sederhana. Namun dengan santun, ia kembalikan setengahnya, dan berkata, kami lebih membutuhkan, sedang ia memang tak senang banyak makan.
Esok lusanya, tak ada angin tak ada hujan, seorang kerabatnya, seorang petani dari Lembang sowan menghampiri. Kerabat yang dahulu sering dibantunya dan almarhum bapak saat merintis bertani, puluhan tahun lalu. Ia tak hanya datang sendiri, ia ditemani keluarganya dan turut serta membawa hasil tani. Singkong, kentang, beras, terkadang bahkan susu, telur dan ayam. Mereka sedang dilimpahi oleh Allah dengan hasil panen yang berlebih dan sedang teringat pada si Mbah. Kerinduan akan kehangatan dan keramahan si Mbah, juga semangat bersilaturrahmi yang dahulu diajarkan guru mengaji, telah menggerakkan kaki mereka untuk melangkah, untuk mendatangi bahkan memberi kelebihan yang mereka miliki. Yang dalam sudut yang lain, ibarat gayung bersambut. Kami bertakbir. Kami takjub. Kami berlinang dan berkaca-kaca ketika si Mbah menceritakannya.
Hanya begitu saja, ujian rezeki datang menghampiri, lalu ia sabar berikhtiar sembari menanti, lantas dari arah yang tak disangka-sangka Allah datang memberikan solusi. Sederhana dalam tulisan namun amat ajaib dalam kejadian. Terlebih bagi kami, bagiku, yang menyaksikan semua keajaiban ini dari bangku terdepan.
Lantas saat aku hendak kembali pulang, ke tanah yang kucintai, ia tertunduk lesu sembari berkaca-kaca. Entah kenapa, mungkin kehilangan sahabat berkeluh kesah dan bercerita. Atau mungkin juga karena tak akan ada yang banyak bertanya soal saripati kehidupan padanya untuk sementara waktu. Atau mungkin sesederhana tak ada yang menanyakannya soal kabarnya, masak apa, sudah makan, atau saling bertukar resep masakan dan sebagainya. Atau mungkin soal kehidupan juga, nafas yang tengah terhembus sembari menuliskan memoar ini siapa yang dapat menjaminkan. Namun, kusunggingkan senyum terlebar yang dapat kubuat, kusalami dan kuciumi tangannya, lalu aku meninggalkannya dengan penuh baik sangka pada Allah, bahwa insyaAllah aku akan dapat bertemu dengannya lagi. Sang pejuang kehidupan, yang mengajarkan banyak hal. Salah satunya soal berbaik sangka pada ilahi, soal rezeki yang takkan tertukar, terlambat atau mengkhianati. Aamiin.
Dari atas travel, yang membelah belantara Sumatera ditengah rintik gerimis. Bercengkrama dengan Min(an)k Tribe yang (mungkin) tak sehalus Sunda atau Jawa, tapi jujur dan hatinya baik tak terkira. InsyaAllah. Dua puluh tujuh Maret dua ribu enam belas.