28 Maret 2012
Perjalanan yang seakan stagnan. Masih saja hati berdebat akan amanah yang didapat saat ini. Pertanyaan hanya satu, Pantaskah ? Begitu banyak insani berada disini, kenapa aku ? Banyak yang lebih paham, banyak yang lebih mengerti.
Yang aku tidak suka dari berpolitik adalah, adanya sebuah kediktatoran, adanya sebuah otoritas yang seakan-akan sebuah hasil pemikiran bersama. Ya, itu politik. Sebuah pemikiran hasil pendapat bersama, begitu filsuf Yunani mendefinisikannya. Pemikiran bersama itu, tanpa bertanya, tanpa analisa yang valid, dengan sesukanya menempatkanku pada sebuah tempat yang aku tak pernah tahu sebelumnya, tak pernah dambakan sebelumnya, tak pernah bersiap sebelumnya, bahkan tak pernah peduli sebelumnya.
Sungguh, komunikasi adalah sarana dan kemampuan penting dalam menjalankan umat. Bahkan, sebuah intervensi tanpa "persetujuan" terlebih dahulu adalah kezaliman. Saat mengobati, atau melakukan prosedur medis, informasi yang lengkap dan jelas wajib disampaikan, mulai dari alasan, dampak, resiko, alternatif, bahkan kemungkinan hasil. Ini yang tak pernah kudapatkan.
Dan sayangnya, setelah otoritas itu bermain, ada sebuah motif yang berbunyi "amanah itu dilarang untuk ditolak".
Ya. Seakan putusan bersama itu haram untuk ditolak.
Satu lagi kesalahanku adalah, aku tak menolak. Mungkin karena popularitas, jabatan, eksistensi, martabat dan segala godaan kejayaan lainnya yang berkecamuk, saat hal lain yang kuimpikan pupus.
Sekali lagi, seakan ditanya,"sebenarnya apa yang kau cari ?"
Sungguh bingung, jengkel, dongkol, dan sesal terus membara.
Tapi, apa hendak dikata. Roda kehidupan kan terus berputar, tak peduli sebesar apapun aku mengeluh, selama apapun aku gusar, dan sepedih apapun aku gundah. Pemuda-pemudi hebat diluar sana kan tetap berprestasi meski aku terpuruk disini.
Ada tugas yang harus diselesaikan. Ada zaman yang harus ditaklukan. Ada manfaat yang harus diberikan. Dan ada karya yang harus terus dihasilkan.
Seberat apapun, cobalah dipikul. Berhenti sejenak jika lelah. Bukankah hidup ada perhentian ? Tak harus gencar terus berlari.
Sesulit apapun, cobalah sabar menghadapi. Tak tahu maka cari tahu.
"Hidup ini seperti mendorong mobil di tanjakan. Godaan untuk berhenti itu memang kuat. Namun sekalinya berhenti, maka mobil itu kan meluncur hingga dasar. Bisa hancur. Atau bisa melindas kita yang mendorongnya. Cara terbaik adalah terus mendorong hingga puncak. Doronglah meski hanya beberapa sentimeter. Tak peduli selambat apapun, asal kita tak berhenti. Dan rasakanlah indahnya pemberhentian, dari puncak kehidupan nanti." - Handry Santriargo, orang Padang, berkursi roda, penderita Hodgkin Lymphoma, CEO General Electric pertama yang orang Indonesia.
Memang terkesan 2 konsepan ini kontradiktif. Namun keduanya sebenarnya konstruktif. Mental pejuang, dengan logika "mendorong mobil di tanjakan" harus terus dikobarkan kapanpun dimanapun. Tetapi, sebagai manusia yang memiliki fisik yang tak sempurna, ada saatnya kita berhenti sejenak. Berhenti untuk melangkah lebih jauh lagi. Berhenti menyediakan tenaga dan semangat yang lebih besar lagi.
Lalu, jurus terakhir ialah kepekaan, kemampuan menganalisa dari yang kecil.
Singa atau Harimau mungkin dapat membunuh 2-3 orang. Namun sebuah virus kecil dapat membantai jutaan nyawa.
Bukanlah batu besar yang dicemaskan pejalan, tetapi kerikil kecil tak tampak yang mampu menjatuhkan bahkan menghentikan perjalannanya.
Setelah menerima takdir, lalu bermotivasi dengan mentalitas baja menghadapinya, maka selanjutnya jangan lupa analisa kemungkinan yang kan terjadi.
Tetaplah termotivasi, tetaplah terinspirasi, dan siaplah menjadi inspirasi.
Fajar Faisal Putra
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran