Belakangan ini, terasa sekali banyak kesuksesesan usaha-usaha yang menginspirasi. Seiring banyaknya kesuksesan ini, berkembanglah pemikiran untuk membagi kesuksesan ini dalam bentuk sharing, training, atau pun seminar inspirasi tentang enterpreneurship dsb.

Banyak kalangan, dari wiraswasta, pegawai, bahkan mahasiswa tak pelak mulai meniti karir di bidang ini.

Terasa bahwa ternyata inilah hal yang lebih menyenangkan dan lebih nyaman dilakukan. Tak perlu berlama-lama duduk di bangku perkuliahan, seakan siapapun bisa melakukannya. Dengan kombinasi usaha dan do'a, insyaAllah trcapailah kesuksesan katanya.

"Demam" ini juga tak dipungkiri menghampiri anak 'eF-Ka' khususnya ditempat saya menimba ilmu. Angkatan tertua yang telah menyandang gelar sarjana dan sebentar lagi akan menempuh jalan klinis hingga akhirnya gelar dokter dapat diraih.

Beberapa teman, berniat menunda bahkan meninggalkan jalur amanah ini demi memperturutkan keinginan atau targetan atau bahkan jalan hidup yang dipilihnya.

Sesuai dengan kata 'Proficio' dari bahasa Yunani, dasar kata profesi, yang berarti Panggilan Jiwa, karir dan masa depan haruslah seiring dengan kegemaran dan kesukaan. Tidaklah cerdas apabila masa depan ditentukan oleh paksaan ataupun dirancang oleh orang lain.

Bapak Kemal Aziz Stamboel, dalam leadershiptalk2012 berujar, bahwa manusia calon pemimpin Indonesia bebas menentukan masa depannya jadi apapun,
Tidaklah masalah apapun dasar pendidikan kita.

Namun, disisi lain, saya teringat dengan bangsa saya yang besar, mayoritas penduduknya belumlah orang yang sejahtera. Masih banyak masalah kesehatan yang terjadi dan adapun jumlah penjaja layanan kesehatan terbaik, katakanlah dokter belumlah cukup di Indonesia.

Data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, 2010, menunjukan bahwa jumlah dokter saat ini adalah 25.333 orang. Sedang jumlah rakyat Indonesia saat ini adalah 237,4 juta jiwa.

Jadi, dengan perhitungan kotor, kira-kira 1 dokter Indonesia melayani sekitar 9300 orang. Belumlah ada masalah ketidakmerataan-nya dokter. Masih banyak dokter yang alergi dengan indah dan terpencilnya pedesaan. Memang jaminan kesejahteraan dokter juga berperan penting disini.

Sedang menurut standar WHO, dokter itu haruslah mencapai perbandingan 1:2000 orang untuk mencapai keefektifan yang baik.

Jadi, berkurangnya 1 calon tenaga kesehatan terbaik itu sama dengan hilangnya jaminan kesehatan untuk ribuan orang.

Berpanjang lebar mengungkap realita, terpikir, sebenarnya apakah penyebab utama masalah ini ? Dimanakah tonggak penentu masa depan itu ?

Pendidikan sekolah menengah. Salah satu pintu penentu karir. Coba kita perhatikan pendidikan sekolah menengah yang ada di Ibu Pertiwi ini.

"Badrul, anak SMA jaman sekarang, kegiatan sehari-harinya sangat sibuk seakan pekerja-pekerja professional. Setiap harinya, Badrul sekolah dari pukul 6.30-16.00 wib. Pulang sekolah, karena tak ingin tertinggal dengan teman-teman lainnya, ia pun mengambil kelas tambahan di luar sekolah, hingga pukul 18.00 wib. Begitu terus 6 hari seminggu. Saat sampai di rumah, kemungkinan Badrul sudah lelah. Sedang pekerjaan rumah dari sekolah tetap menunggu. Terkadang ia juga mengeluh kapan harus bermain dan mengembangkan bakatnya.

Seakan waktu sehari 24 jam taklah cukup baginya."

"Kemudian, saat tiba ujian masuk universitas, Badrul bingung memilih jurusan apa. Adapun ia mengikuti arus pemilih, pada sebuah fakultas kedokteran, tanpa benar-benar tahu apa sebenarnya masa depan seorang dokter, bagaimana gambaran pendidikan seorang dokter. Dan, ternyata Badrul lulus dalam pilihannya. Namun, seiring waktu berjalan, ia merasa berat dan kehilangan ketertarikan. Ia melirik berbagai bidang lain yang menyenangkan baginya."

Skenario diatas, dapat saya jamin bukanlah terjadi pada satu dua orang. Dalam penentuan masa depan dan karir, sepatutnya dijelaskan seterang-terangnya. Dan dalam kehidupan sekolah, seharusnya lebih efektif lagi. Sekolah bukanlah formalitas penghasil ijazah. Sekolah harusnya jadi tempat utama mencari ilmu. Harusnya sekolah dapat mencukupi kehausan ilmu siswa-siswi Indonesia. Agar tak perlulah ada les tambahan pelajaran yang pastinya akan menyita waktu. Kapan lagi seorang pemuda memiliki waktu untuk mengembangkan minat dan bakatnya, untuk lebih mengenal dirinya, dan hingga akhirnya tahu jalan karir atau cita-cita masa depannya apa.

Tak mudah memang, merubah apa yang telah ada. Spencer, seorang filsuf, mengatakan bahwa manusia itu kuno. Ia memiliki kecendrungan untuk bertahan pada sesuatu yang telah lama ada. Takut mencoba hal-hal yang baru.

Namun ada saatnya kita harus berubah. Berpikirlah strategis. Berubahlah jika itu memang yang harus dilakukan. Bertahanlah jika memang itu yang terbaik.




Fajar Faisal Putra
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2010