Tulisan kali ini adalah sebuah inspirasi saya ditengah-tengah mepetnya tugas karya tulis untuk Olymphiart2012, yang bertemakan “Penyakit Endemik”. Untuk tema ini, pilihan saya jatuh pada Penyakit Tuberculosis.

                Tuberculosis (TB) adalah sebuah kesuksesan. Tuberculosis, dari sisi yang jarang dipandang, adalah cerminan pribadi sukses dalam proses maupun hasil. Ga percaya ? Buktinya, hingga saat ini sudah ada sekitar 8.8 juta jiwa terkena TB, dimana 1.1 juta jiwa meninggal meski negatif HIV, dan 0.35 juta jiwa meninggal dengan TB sekaligus HIV. Ya, TB dapat dibarengi oleh HIV juga. Meski begitu, insidensi (kasus baru) TB cukup menurun semenjak 2006. Penurunan itu dibarengi juga dengan peningkatan biaya penanggulangan TB dunia, dari “hanya” 3.5 miliar dolar Amerika pada 2006 hingga 4.4 mliar dolar amerika tahun ini, 2012. Dan kemungkinan berkembang juga besar, sekitar 0.6 miliar dolar amerika pengeluaran yang dapat bertambah. Sungguh jelas, TB adalah masalah yang nyata untuk manusia, dan TB adalah Superstar di kalangan penyakit-penyakit yang ada di dunia.

                Terbersit sebuah pertanyaan, sebenarnya, apa sih rahasia sukses Tuberculosis ?
                Jawabannya gampang,”totalitas dan tidak menyerah sampai akhir, push to the limit”, seakan seperti wejangan-wejangan training motivasi, begitu TB menjawabnya.

                TB, seakan sebuah perusahaan dengan marketing yang baik, menyebar dengan cara yang paling mudah menjangkau semua “calon pelanggannya”. TB menyebar via udara dari batuk, bersin, dan nafas penderita yang telah terinfeksi TB. Jadi, bagi negara-negara endemik TB, hampir semua orang telah terinfeksi. Lantas, harusnya setiap orang di negara endemik terinfeksi dan memiliki gejala TB dong ?

                Untuk hal ini, kita harus berterima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan kita tubuh maha sempurna. Kerja keras sebuah sistem tanpa balas jasa, “sang penjaga” bernama sistem imun yang didalangi dari molekul yang tak kasat mata seperti antibodi yang melawan antigen asing, makrofag yang tanpa pandang bulu menelan bulat-bulat ambisi dan jasmani bakteri, hingga bulu hidung dan sel-sel rambut (cilia) pada tengorokan kita. Dengan kekebalan laksana dewa, seharusnya TB bukanlah masalah bagi umat manusia. Namun faktanya, meski ada sistem kekebalan tubuh, 10% pasien yang terinfeksi langsung menjadi penderita TB.
                Meski hanya 10% yang menderita langsung, bukan berarti kita dapat bersenang-senang. Tanpa kenal menyerah, TB terus menghantui, menunggu kelengahan dalam sunyi seraya terus berlindung dan memperkuat diri. Hingga datanglah sebuah kesempatan, yakni saat imunitas turun (immunosupressive patient), sempurna tanpa kesalahan, TB kan menginfeksi secara nyata dan menimbulkan gejala. Keringat dingin di malam hari, batuk bahkan hingga berdarah, nyeri dada, dan demam yang terjadi lebih dari 3 minggu adalah gejala-gejala utama.
                Dalam penglihatan mikroskopik, saat TB berdormasi seperti tadi, ia tidak hanya diam dan tanpa tujuan. Aliran darah adalah dunia yang keras. Imunitas terus menghantui tanpa istirahat. Belum lagi pihak lain, radikal bebas yang selalu merusak siapapun, tubuh maupun zat asing yang tak terhankan oleh pelindung apapun. Maka apabila tetap bertahan dalam aliran darah tanpa perlindungan, maka dipastikan TB kan hilang dari peradaban.

                Dalam kondisi kritis, meski dalam pengetahuan manusia sel itu tidak punya “otak”, namun entah kenapa sel TB mampu berpikir untuk beradaptasi. Sel yang berukuran mikrometer, yang menegur pemilik otak yang jauh lebih besar namun tak mampu efisien berpikir. TB mencari sebuah sel bernama makrofag. Makrofag seharusnya adalah salah satu polisi tubuh yang menelan dan menghancurkan zat asing. Dan para warga tubuh asing (WTA) harusnya menghindari makrofag dengan berbagai macam mekanismenya. Namun TB, membantah segala kemungkinan, mencari makrofag dengan gagah berani meski bukan untuk melawan. Saat telah bertemu, dengan sigap makrofag kan melakukan gerakan untuk memakan. Namun TB yang tak kalah sigap melakukan sebuah manuver pada reseptor/penerima pada membran sel markofag. Menempelkan reseptornya ke reseptor makrofag. Tak menghentikan gerakan memakan dari makrofag memang, namun apa yang terjadi setelah TB benar-benar dimakan ? ia bertahan dalam kungkungan makrofag. Ia terus hidup dan mekanisme penghancuran oleh makrofag yang biasanya mampu meluluhlantakkan berbagai macam banteri yang jauh lebih berbahaya kini seakan tak berdaya.

                Dalam kungkungan, makrofag semakin gencar dan produktif. Ia ber-replikasi, memperbanyak diri dengan cara membelah sel sendiri. Terus bersiap dengan produktifitas tinggi. Dan karena telah berada dalam makrofag, TB tak perlu takut lagi dengan serangan radikal bebas dan imunitas dalam aliran darah, karena kini ia telah memiliki sebuah benteng yang tak terlihat, tak terkenali, aman dalam sunyi.

                Suatu saat, ketika telah cukup menghasilkan banyak sel, TB kan keluar dan pecah hingga menginfeksi tak hanya paru-paru saja bahkan juga sumsum tulang belakang dan otak hingga menyebabkan kematian.

                Jikalau begitu, maka kenapa tak dihambat saja reseptor TB atau reseptor makrofag ? hal ini telah dipikirkan oleh ilmuwan, mereka coba hambat beberapa reseptor yang telah diketahui seperti Complement Receptor (CR) dan mannose receptor (MR). Namun, apa yang terjadi ? TB tetap menemukan reseptor lain untuk tetap membentengi diri dengan makrofag. Semangatnya seakan pemuda yang ambisius, akalnya seakan cendekia yang bijaksana, dan totalitasnya seakan air terjun yang tak henti-hentinya.

                Sungguh, pada sebuah makhluk yang maha kecil, tanpa otak, tanpa kesempurnaan sel seperti manusia, tanpa banyak fasilitas dan manfaat mampu menghasilkan kesuksesan dengan segala keterbatasan. Pramoedya A. Toer, Buya Hamka, M. Hatta dan banyak orang besar lainnya juga pernah dipenjara, dibuang dan diasingkan. Namun justru karya mereka tak terhenti. Beberapa bahkan bersinar namanya dari balik jeruji. Hingga saat ini, karya itu terus jadi kenangan manis yang tak hanya mereka yang mengingatnya, tetapi juga ratusan hingga ribuan jiwa hingga saat ini. Meninggalkan nama dan karya. Dan sesungguhnya, seorang dinilai dan diingat akan apa yang dikaryakannya. Dan berkarya, tak mengenal tempat, situasi, dan jabatan. Semua wajib berkarya dalam setiap hal yang kita bisa lakukan. Yang membedakan pemimpin dan penguasa adalah, pemimpin, saat iya memegang kekuasaan, ia berkarya. Saat ia tak lagi berkuasa, ia tetap berkarya. Namun penguasa hanya berkarya saat ia berkuasa.



Fajar Faisal Putra
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2010