Ucapan beliau kemarin masih terngiang di telingaku.

"Para sufi menghendaki mati secepatnya. Agar tak bertambah dosanya. Dan agar lekas bertemu Tuhan yang dicintainya." Begitu katanya.

Maka pertanyaannya yang renyah lagi menarik itu menggema lagi di kepalaku, yang sedang tersandar muram di sudut paviliun mahasiswa di rumah sakit itu.

"Apa engkau mau mati saat ini ?"
"Jika engkau mati saat ini, apakah menurutmu engkau akan masuk ke dalam surga ?"

Aku menjawab, aku hendak mati pada saat yang tepat. Tak hendak lebih cepat, tak juga lebih lambat.

Beberapa menjawab, mereka tak hendak mati saat itu juga, karena belum menikah. Lalu aku juga terlongsong mengakui hal yang sama.

Lantas beliau menanggapi, bahwa kesenangan menikah itu jauh lebih baik di alam sana nanti, berkali lipat disini. Pun begitu soal yang lainnya. Soal pencapaian hidup. Soal harta benda. Dan segala soal kesenangan dunia lainnya. Maka dari logikanya, beliau menyimpulkan maka secepatnya sajalah kita bertemu sang pencipta, karena dunia ini fana dan sementara.

Benar tidaak ? Dengan logat sumatera, terdengar jelas dari caranya menyebut akhiran "k" yang ditekan dan diberi intonasi. Kalau ini penyakit, maka ucapan konfirmatif ini adalah patognomonik beliau. Kalau ini tren, maka ucapan ini adalah 'trade mark' beliau.

Tapi rasanya aku tetap tak setuju. Bahwasanya hidup di dunia tak hanya soal kesenangan saja. Bahwasanya tak hendak mati cepat bukanlah soal keterikatan akan kenikmatan dunia. Justru ia adalah bentuk upaya dan pengharapan. Menikah kata Rasulullah akan membuat seorang muslim/muslimin meraih separuh agamanya (HR Muslim). Betapa luar biasanya, menikah, apabila karena Allah, hebatnya hingga menjadikan agama lengkap hingga separuhnya. Maka menikah adalah juga soal beribadah. Kenikmatan adalah sebuah tambahan dan bawaan dari ibadah ini. Dan setelahnya menunggu amalan-amalan luar biasa bagi muslim/muslimin. Membahagiakan isteri, berbakti pada suami, mendidik isteri, mengasuh anak, mendidik anak, mengajarkan anak beramal shalih, hingga nanti didoakan oleh anak. Sebagaimana doa anak yang shalih akan menjadi amal yang tak akan terputus meski telah tiada nanti.

Dan hakikatnya, mati cepat tak menjaminkan surga. Hanya menjaminkan takkan bertambah dosa lagi. Tapi tak juga menjamin amalan selama ini cukup memasukkan ke surgaNya. Lantas hidup sepenuh-penuhnya hidup adalah soal membeli tiket menuju surga ilahi. Karenanya perlulah direncanakan, dilakukan, dievaluasi dan diperbaiki hingga tercapai tujuan. Pun jika mati di tengah perjalanan menuju pencapaian amalan unggulan masing-masing yang membuahkan surga, itu tak masalah. Allah tetap menghitung dengan adil. Yang jadi soal adalah mati tanpa sempat berencana. Mati tanpa sempat menyadari misi hidup ini.

Dua puluh delapan agustus dua ribu lima belas, sebuah obrolan dengan guru kami, di sudut rumah sakit utama di kotanya Muhammad Toha, didokumentasikan oleh murid nan banyak celanya, tertawan hatinya, ceroboh ucapnya. Saya.