Akhir-akhir ini aku makin berminat untuk menulis. Sebagai latihan atas apa yang sedang kupersiapkan, dan sebagai teguran atas sebuah kisah inspiratif. Sebuah teguran pada sikap dan pemikiranku yang selama ini keliru. Bahwa diam dan bekerja tak selamanya benar. Apalagi diam dan terlena dunia saja, tanpa produktif berkarya. Seperti ungkapan dari sebuah iklan rokok, yang berbunyi:
Talk less do more
Menurutku, yang baik sejatinya ialah
Talk more do more
Ada poin penyampaian hikmah, ada poin mentranslokasikan hidayah yang telah didapat dalam kehidupan sehari-hari, dan ada poin soal berbagi dalam menulis. Seperti sebuah kisah yang menggugahku untuk mulai berani menulis lagi. Begini kisahnya;
Pada suatu saat di sebuah mesjid di Amerika, kaum muslimin hilir mudik dan ramai beribadah semampunya. Mereka Shalat dengan khusu'nya dan kemudian berzikir, berdoa dan melaksanakan shalat sunnah setelah shalat wajib. Namun, tiba-tiba seorang pria berdiri. Pria tersebut lantas maju ke pengeras suara, lantas ia membacakan surat Al-Fathihah dari awal hingga akhir. Setelahnya ia pun keluar dari mesjid. Sang Imam mesjid pun terkejut akan tingkah pria itu, kemudian ia menyusul pria itu, dan bertanya," wahai saudaraku, jika boleh aku bertanya, mengapa engkau barusan maju ke depan dan membacakan surat Al Fathihah dengan pengeras suara ?"
Pria itu menghela nafas, kemudian dengan linangan air mata ia pun menjawab,"Saudara Imam, aku baru saja dapat hidayah menjadi seorang muslim. Dan aku mendengar hadis Rasulullah berkata bahwa jika kita berilmu maka sampaikanlah walau meski hanya satu ayat. Aku tak memiliki ilmu apa-apa, namun aku sudah hafal surat Al-Fathihah. Karenanya, meski tak seberapa, namun aku hendak membagikan Al-Fathihah ini sesuai dengan perintah Rasulullah."
Semoga kerahmatan Allah terus membersamaimu, wahai saudara seiman.
Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Enstein, maka pengalaman demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen itu tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong - ini pendapat Enstein - maka pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat apa pengalaman yang sama tadi memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain - Andrea Hirata, Edensor
Maka pengalaman, laiknya waktu yang relatif, yang hendak kukabarkan ialah pengalaman akan dua guruku. Mereka ibarat dua sisi mata uang, berkebalikan namun satu kesatuan. Takdir menghantarkanku bertemu dengan dua orang guru yang luar biasa budinya, begitu juga luar biasa berbedanya. Mereka merupakan guru dengan profesi yang sama, dokter bedah.
Yang satu, seorang Perwira tinggi sekaligus dokter, pangkatnya mungkin tertinggi seantero Rumah Sakit itu. Tapi dengan rendah hatinya, ia hanya menjalankan tugas pelayanan seperti biasanya. Umumnya pria sekaliber itu tengah mengepalai sebuah daerah militer atau memimpin pasukan. Tapi dia tidak. Ia tegas, ia disiplin. Tak pernah sekalipun kulihat ia datang lebih lambat daripada kami, sekalipun. Ia tegas pada siapapun, termasuk pada pasien. Tanpa kompromi, apakah seorang sipil atau bahkan pejabat dan pasukan khusus sekalipun, tak dibedakannya. Tak didahulukannya yang satu pun tak diakhirkannya yang lain. Di sela-sela mengobati, tak sungkan ia berpaling pada kami dan menekankan banyak hal yang krusial bagi kami setelah lulus nanti. Meski mengurangi efisiensi kerjanya hingga separuhnya, tak apa baginya. Pelan-pelan ia ajarkan kami dan amat jauh dari kesan militer yang menempel pada pangkatnya.
Pun ia juga tak ragu bercerita soal kisah hidupnya. Setelah lulus dan menjadi dokter, ia langsung ditempatkan di daerah amat terpencil oleh Angkatan. Ia mengaku berjuang keras disana. Transportasi sulit dan kondisi geografis tak memungkinkan untuk pasien segera dirujuk. Bermodalkan buku, ilmu serta keterampilan yang didapatkannya semenjak kuliah, segala tantangan kesehatan ia hadapi dengan tenang. Ia tangani hal-hal yang harusnya menjadi kompetensi Internis, Pediatrisian dan Ahli Kebidanan Kandungan. Segala hal ini masih dapat dipelajari dan dikuasai dari buku, begitu akunya. Namun, ia menyerah pada kasus-kasus bedah. Kondisi geografis yang sulit mengharuskannya mencoba menangani sebisanya atau nyawa pasien gantinya. Ia coba lakukan seperti halnya kasus lainnya, ia perdalam keilmuan tersebut via buku. Namun ternyata tak sesederhana itu, buku tak cukup mengatasi persoalan keterampilan, variasi, kondisi anatomi nyata dan efisiensi kerja. Ia mengaku karena saking daruratnya, ia pernah melakukan laparatomi.
Lantas setelah selesai masa tugasnya, ia kembali ke Bandung. Ia temui gurunya dahulu, seorang Professor yang kini telah lama berpulang. Ia ceritakan kisahnya, bagaimana kasus bedah menghalanginya dari menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter. Professor ini, tergugah oleh kisahnya. Lantas beliau membawanya pada kepala bagian bedah Universitas Padjadjaran saat itu. Ia berkata," Dok, ini dokter L harus diterima sebagai peserta didik spesialis Bedah ! Kondisi di daerah amat memprihatinkan dan dia dibutuhkan disana. Jika dokter tidak mau menerima dokter L, maka dokter yang harus bertanggung jawab atas kondisi kesehatan disana. Dokter yang harus kesana. Dan dokter L akan ikut saya selama 2 tahun, saya akan didik dia jadi dokter bedah tanpa perlu institusi dan brevet !"
Begitu tegasnya ucapan professor itu. Sang kepala bagian, yang juga salah seorang murid dari Professor ini tak bisa berkata apa-apa, lantas diterimalah guruku disana. Yang menarik juga ialah, bahwa dalam proses pendidikannya, saat itu begitu banyak terjadi konflik di Indonesia. Ia yang saat itu belum selesai sekolahnya telah diminta untuk membantu di daerah-daerah konflik tersebut. Di tahun-tahun akhirnya ia sama sekali tak berada di Bandung, ia telah bermanfaat di daerah-daerah sana membantu Angkatan Bersenjata, disaat rekan-rekannya yang lain sedang sibuk memikirkan tugas akhir.
Setelah konflik selesai, ia pun kembali melanjutkan sekolahnya dengan membawa pulang segudang pengalaman dan hikmah.
Terbiasa bekerja di daerah konflik yang amat berkekurangan, berasal dari Angkatan Bersenjata, maka hal-hal ini membentuk karakter serta etos kerjanya. Ia efisien, cepat, hemat, berorientasi pada efektifitas, dan adaptatif. Ia tak banyak mengeluh dan menggunakan segala bekal yang ada. Pekerjaannya salah satu yang tercepat yang pernah kulihat. Tak banyak basa-basi, tak banyak gerakan-gerakan tak bermakna. Mahir, cekatan, dan tepat guna.
Yang seorang lagi tak kalah luar biasanya. Ia adalah seorang seniman. Pekerjaannya didasarkan atas niat memberikan yang terbaik bagi semua pasiennya tanpa terkecuali. Bahwasanya tiap pasiennya memiliki hak yang sama atas waktunya, ilmunya, dan kemampuannya. Maka mereka yang berhak itu tak pantas diburu-burukan, tak layak dikerjakan asal-asalan, tak lazim dipikirkan bersambilan dengan hal lain. Tiap mereka spesial dan berhak atas waktunya. Maka ia mendengarkan dengan cermat dan sabar, mendiagnosis dengan tenang dan penuh pertimbangan serta mengerjakan dengan telaten dan teliti. Terkadang terlihat di sana sini beliau mengeluh soal instrumen yang di bawah standar. Tapi ini semua demi kebaikan pasiennya. Instrumen yang di bawah standar berpotensi merugikan pasiennya, maka hak pasien itulah yang terus diperjuangkannya.
Pun soal mengajar ialah salah satu kesenangannya. Tak pelak telah beredar rumor semenjak dahulu soal beliau, betapa pulang hingga larut malam dari rumah sakit angkatan bersenjata itu adalah ciri khas dan tak dapat dielakkan. Tapi ia membimbing dengan sabar, telaten dan amat menyenangkan. Pun sesekali kami perhatikan karena membimbing kami beliau terlambat praktik di tempat lain, terganggu waktu makannya - padahal belumlah ada sesuap nasi ia rasakan semenjak pagi, terkadang datang telefon dari keluarganya dan kerabatnya, namun semua di nomor duakannya. Lantas ia memprioritaskan kami.
Bimbingannya pun istimewa, dan totalitas. Tak terhitung rasanya entah berapa jurnal yang telah ia baca, entah telah berapa puluh tahun lamanya ia membaca soal anatomi, fisiologi, patologi, histologi, mikrobiologi dan farmakologi tapi masih jelas di ingatannya soal hal-hal tersebut. Pun diatas kusebutkan ia adalah seniman, tercermin jua dalam caranya mengajar. Ia senang menggambar, maka ia jelaskan semua hal soal Appendisitis, Hernia, Hemorroid, dan Ileus dengan gambarnya yang tak kalah dengan buku anatomi manapun. Ia ceritakan dengan cara-cara yang mudah dimengerti, sederhana namun padat lagi jelas. Di sela-selanya ia selingi dengan humor dan kisah-kisah inspiratif soal masa lalunya.
Dan yang paling luar biasa, ia adalah seorang pria berusia 61 tahun. Ya, enam puluh satu tahun. Memang kini tangannya tak secepat biasanya atau masih kalah dibanding dokter bedah yang lebih muda. Tapi tak diragukan lagi bahwa hasil kerjanya luar biasa. Rapih, runut, tenang, komprehensif dan artistik. Belum pernah rasanya kulihat operasi seindah ini. Tak ada kesan buru-buru, tidak matang, ceroboh dan meremehkan. Setiap operasi adalah tantangan yang khusus dan perlu penanganan serta perhatian khusus tak peduli entah berapa ribu kali ia telah melakukan prosedur yang sama.
Kisah-kisah perjuangannya saat muda tak kalah menggugahnya. Ia bukanlah anggota Angkatan Bersenjata, tapi Ayahnya. Dahulu pria sebenar-benar pria ini, para pembela negara, tak semakmur saat ini. Ayahnya adalah orang yang berhasil menangkap (alm) Kartosuwiryo dan mengakhiri perang saudara waktu itu, namun kebaikan hatinya memperlakukan sang pemimpin pemberontak yang ditangkapnya menimbulkan banyak fitnah dari kiri kanan. Entah bagaimana hidupnya saat itu, tapu kutahu tidak mudah. Saat berkesempatan kuliah di jurusan kedokteran, disaat mahasiswa lain sibuk belajar ini itu di siang hari, ia justru sibuk bekerja sebagai tim dekorasi di hajatan sana sini. Malamnya, saat mahasiswa lain terlelap dengan puas, ia yang tak mampu membeli buku-buku kedokteran hanya bisa menumpang membaca di rumah temannya. Saat tengah malam ketika buku-buku itu sedang tak dipakai pemiliknya.
Kisah-kisah ini adalah bagaikan letupan-letupan cahaya di kereta Enstein. Hampir tiap dokter muda yang dibimbing oleh mereka akan merasakan dan mendengarkan paparan yang kudapatkan. Maka pertanyaannya, seberapa jauh tiap pribadi itu mengambil hikmahnya. Dan aku, hendak mengabadikan hal ini dalam sebuah cerita agar dapat kupelajari lagi letupan-letupan cahaya ini. Dua pribadi yang laiknya dua sisi mata uang yang berlawanan, masing-masingnya memiliki karakternya sendiri. Tapi selalu ada hal yang dapat dipelajari dari sisi manapun.
Laiknya kisah Hamka, saat ditanya oleh seseorang;
"Wahai tuan Hamka, aku telah berziarah ke Mekkah. Tanah yang katanya suci itu, namun tak diduga masih dapat juga kutemukan pelacur disana."
Hamka menjawab dengan tenang,"Wahai tuan, aku pernah mengunjungi Amerika Serikat. Tapi ternyata tak kutemukan pelacur disana."
Kita hanya akan menemukan apa yang kita cari. Di kota sesuci Mekkah sekalipun jika kita meniatkan mencari seorang pelacur maka bukan tak mungkin kita temukan. Sedang di Amerika jika kita tak meniatkan mencari pelacur maka tak akan kita temukan. Begitu jua soal bumi manusia. Selalu ada yang dapat dipelajari dari setiap insan yang kita temui. Pasalnya, apa hati kita cukup tenang mengambil hikmahnya, karena tak semua hikmah muncul dengan tampilan baik.
Bandung, dua puluh lima Oktober dua ribu lima belas.