Hari ini, minggu ini, kutemukan lagi satu dari banyak berlian-berlian itu. Berlian alam sana yang terlalu elok dan silau ada di dunia, hingga tak sengaja mengganggu yang lainnya.
       Allah dulu, Allah sekarang, dan allah nanti. Semua ceritanya berintikan hal ini dan terus terulang, tapi entah kenapa rasanya selalu ada roman-roman tersendiri pada setiap cerita itu. Tak sedikitpun ada bosan pun sesak mendengarnya, meski hanya mengulang-ulang hal yang sama.
    Mungkin ini hikmahnya hati yang terus ternoda oleh yang bukan Allah tujuannya, betapa pengasihnya Allah menghapuskan segala prasangka-prasangka yang ternyata angin lalu semata. Aku yang terus berburuk sangka soal takdir, soal jati diri dan identitas, soal rezeki, soal masa depan dan Allah tunjukan contoh nyatanya, betapa ada ternyata manusia yang mampu melewati semua hambatan itu semua dan tampil terbaik di bidangnya, mendiamkan segala cemoohan dan hinaan dengan karya dan amalannya.
      Ia ada di lingkungan yang amat kotornya. Dalam hematku. Namun ia menolak untuk terpengaruh, tapi justru memberi pengaruh. Ia menolak untuk diam dan lantang bersuara. Ia menolak menggantungkan harapan pada siapa saja dan apapun selain pada Allah semata. Bahkan tidak pada keluarga juga.
    Ia ada di departemen itu, yang hanya beberapa sentimeter dari jurang malpraktik dan konflik kepentingan.  Aku yang semenjak kecil sudah menyaksikan konflik kepentingan dan penzhaliman atas orang yang kucintai, dan terus membekas dalam hatiku hingga menjadi luka dan noda yang memburamkanku. Ia juga sama, ditahan, dibenci, dihina, tapi apa jawabannya saat kutanya, bagaimana perasaannya soal orang-orang itu,
    Ia menjawab, "ada alasan Allah menakdirkan orang-orang tersebut bersikap begitu. Dan salah satunya adalah untuk menguji saya. Allah hendak melihat bagaimana saya menghadapi mereka. Karena Allah berjanji bahwa orang-orang yang hendak masuk surga Allah musti diuji terlebih dahulu. ("Apakah kamu mengira kamu akan dimasukkan ke surga Allah tanpa di uji terlebih dahulu ?"). Maka saya tidak akan menistakan mereka."
     Aku terdiam lama. Tak ada yang terbersit dalam otakku selain kisah soal Hamka, yang ditanyakan hal yang serupa. Hamka ditanya bagaimana perasaannya soal sastrawan besar Pramodeya Ananta Toer yang telah memfitnah hingga membuat Hamka dipenjara. Dan pada sebuah majelis nan ramai, bertahun-tahun setelah Hamka bebas, Hamka menjawab, bahwa ia sudah memaafkan Pramoedya. Seluruh peserta majelis hening dan terhenyak. Hidup Hamka yang telah terbolak-balik, istri dan anak-anaknya yang menjadi susah, kebebasannya direnggut, nama baiknya dinodai, tapi disaat diberi kesempatan melaksanakan haknya untuk mencurahkan itu semua bahkan membalas, ia justru melakukan hal yang lebih baik. Memaafkan.

Gentliness is the language of the strong. The weak failed to differentiated between rudeness and strength. - Anonymous

Bandung, satu oktober dua ribu lima belas. Sebuah catatan dari murid bodoh dan banyak tanya, atas gurunya nan luar biasa. Prof Hendro namanya.