Alisnya yang putih sibuk mengkerut bersama kulit dahinya yang tipis. Ya, Dia terlihat sedang berpikir hebat soal sebuah materi yang, jika boleh kugunakan bahasaku sendiri, "setengah matang" itu. Di sebuah fakultas filsafat-dulunya fakultas teologi, yang membahas soal filsafat kematian.
    Pria tua yang tak hanya alisnya, namun rambut dan kumisnya juga telah memutih itu, pun sepertinya hanya Aku yang tahu di ruangan itu, adalah salah seorang yang paling mengerti soal kematian lebih dari siapapun di Bandung Raya bahkan Jawa Barat ini. Setidaknya secara fisik. Telah banyak lembaga yang meminta bantuannya bertahun-tahun lamanya. Tak sebentar pula ia duduk di kursi itu, kursi tertinggi di departemen forensik terbaik di Jawab Barat, bahkan salah satu yang terbaik di Indonesia. Maka tak dapat di pungkiri, beliau adalah salah satu orang yang paling mengerti soal kematian bahkan seantero Nusantara.
    Malam itu, seorang romo-aku tak tahu apakah ini gelar spiritual ataukah hanya panggilan saja- sedang bercerita satu arah, tanpa alat bantu apapun, soal filsafat kematian menurut Elisabeth-Koebler Ross. Jika ada yang senang atau ahli dalam ilmu kejiwaan, tentu tahu proses pertahanan jiwa saat menghadapi situasi krisis yang berpengaruh besar dalam hidup. Proses itu ialah : Denial, Anger, Bargaining, Depression dan Acceptance. Nah, Elisabeth-Koebler Ross adalah orang yang menemukannya, dari riset yang ia lakukan saat menjadi mahasiswi kedokteran paska perang dunia ke dua. Yang kemudian ia bukukan dengan judul "On Death and Dying" (1969). Buku yang tak hanya populer namun menghadiahkannya lebih dari 20 gelar dokter honoris causa dari berbagai universitas terkemuka di dunia.
    EKR berteori bahwa kematian adalah sebuah proses psikosomatis. Proses ini diawali oleh adanya perubahan kejiwaan yang dapat saja tak terlihat hingga bahkan dapat juga berupa ilusi, halusinasi dan delusi. EKR mengetahui ini saat meneliti pada pasien-pasien penyakit terminal di Rumah Sakit Akademi Chicago. Lalu Romo itu menjelaskan, bahwa pada pasien-pasien yang diberitahu soal prognosis kematiannya yang buruk, maka mereka akan menghadapi 5 proses diatas. Meski tak selalu kronologis dan eksklusif, bahkan lengkap, tapi dipercaya bahwa setidaknya semua akan menghadapi fase denial dan fase depresi.
    Tak banyak waktu yang diberikan untuk tanya jawab dan sejujurnya, materi ini tak lebih hanya uraian dari buku yang dibaca oleh romo tersebut, yang mohon maaf saya tak ketahui latar belakang akademiknya sama sekali atau relevansi apa yang ia punyai hingga ia pantas berbicara di depan soal mati.
    Disana sini banyak asumsi asumsi dan beberapa kuketahui celanya. Kuketahui tak benarnya. Terlebih soal medis kematian. Namun, mispersepsi-mispersepsi itu sedikit banyak makin menguatkan keyakinanku soal apa yang sejatinya benar. Soal pemikiran unik para ahli teologi, di satu sisi menemukan ilmu pengetahuan yang luar biasa soal dunia sedang di sisi lain segala kepercayaannya bertentangan dengan pengetahuan tersebut. Mereka yang pragmatis, jujur dengan hatinya bahwa salah adalah salah, dan beralih menjadi ateis, meski tak mampu menjelaskan banyak hal juga. Sedang mereka yang melankolis, tak tega meninggalkan kepercayaannya begitu saja meski tertolak sedemikian rupa oleh akalnya. Mereka ini, sebagian besar menjadi sekularis. Sisanya, sepertinya, menjadi tak acuh. Atau berada dalam ketidaktahuan.
    Kembali soal fase pre kematian menurut EKR. Riset awal saat ia mahasiswa diperbaiki dengan roset terbaru dengan jumlah sampel sebanyak 200 orang. Menghasilkan kesimpulan yang serupa.
Agenda seminar itu selesai, dan tinggallah aku berdua dengan beliau, guruku yang luar biasa itu, di parkiran kampus nan mungil di salah satu sudut belantara Bandung Raya. Betapa takjubnya diriku, bahwasanya rasanya ilmunya jauh melebihi romo itu, soal apapun yang ia sampaikan. Tapi ia masih begitu rendah hati tetap ikhlas menerima ilmu dari siapapun tanpa pandang bulu. Bahkan dari jejaka tak berilmu sepertiku, ia tetap mendengarkan dengan tenang semua argumentasiku. Diskusi kami berjalan panjang dan berlanjut pada sebuah kios Sate Padang di pelataran gedung-gedung antik daerah Cikapundung.
    Ia dan aku sama-sama setuju, bahwa studi EKR amat rendah reliabilitasnya. Dari jumlah sampelnya yang amat kecil, sampel yang amat homogen yakni penderita penyakit terminal di sebuah rumah sakit saja, rasnya yang sama, agamanya yang sama, kondisinya yang hampir mirip, serta beberapa variabel penting yang ia pilih untuk tak diacuhkan seperti kondisi kejiwaan sampel, status sosio ekonomi, mentalitas, usia, jenis kelamin, dan sebagainya.
     Tentulah hal ini masih tak diketahui apakah sama untuk seluruh orang di rumah sakit lain apalagi untuk yang tidak di rumah sakit atau bahkan di negara lain.
    Kemudian, betapa kuatnya terlihat pengaruh Sigmund Freud terhadap pemikiran EKR. Dari 5 proses ini terlihat bahwa EKR mengasumsikan bahwa kematian ialah antitesis kehidupan. Kematian, sebuah proses yang tidak mengenakkan dan ditakuti.  Sebagaimana setiap proses itu laiknya didasari oleh pemahaman ego, id dan superego Sigmund Freud. Bahwa kematian tak disenangi terbukti bahwa EKR berpendapat bahwa tiap manusia akan menolaknya. Denial. Yang ditolak umumnya yang tidak disukai. Jelas disini ego mendominasi. Kemudian reaksi berikutnya adalah marah. Marah setelah paham bahwa hal ini yak dapat ditolak, dan jelas sekali marah adalah bagian dari ekspresi ego juga. Berikutnya menawar, yang masih didasari oleh rasa yang hendak senangnya saja. Kemudian saat tahu bahwa penawaran tak ada gunanya, ego itu mulai melemah dan timbulah depresi. Hingga suatu ketika nanti ego dikalahkan oleh id maka muncul acceptance.
    Namun bagaimana dengan realita-realita begitu banyak yang tak menghadapi hal ini semua menjelang kematiannya ? (Tentu bukan soal kematian mendadak) begitu banyak contoh-contoh yang hanya melewati acceptance saja. Mereka-mereka yang luar biasa dalam sejarah bahkan tak menakutinya sama sekali, bahkan tak mengganggap kematian sebagai antitesis kehidupan. Mereka menganggap bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan. Sebagaimana kelahiran. Maka lawannya kematian bukanlah kehidupan melainkan kelahiran. Mereka menerima fakta ini matang-matang, dan bukannya pasrah atau putus asa namun menghadapi dengan berani, bahkan dengan senyuman di pipi.
Semua ini sejatinya berasal dari bagaimana kita memandang kehidupan. Beberapa, bahkan tak sedikit jumlahnya, memandang kehidupan adalah soal kesenangan dan kenyamanan. Berusaha keras dalam hidup hanya agar senang. Hedonis. Dan hal inilah yang mendasari pemikiran Ego, Id dan Superego Sigmund Freud. Bahwasanya ego manusia adalah untuk senang-senang saja, maka harus dikendalikan dengan Id dan Superego agar tidak menyebabkan masalah dengan yang lainnya. Maka, bagaimana jika ternyata ada hal yang lebih dari sekadar kesenangan dalam hidup ?
     Orang-orang besar, yang bahkan menyongsong kematian yang diketahuinya dengan senyuman dan semangat, yang aku sebutkan diatas, ialah para syuhada. Para syuhada menafikkan segala teori Elisabeth-Kobler Ross soal kematian dan teori Sigmund Freud soal kehidupan.
     Para syuhada, orang-orang berilmu dan beramal shalih tak dapat didefinisikan oleh teori-teori ini. Ada hal yang lebih dari sekadar mencari kesenangan. Esensi hidup mereka berbeda. Mereka hidup atas alasan penciptanya, yakni penghambaan. Pengabdian total. Setiap hembusan nafas, setiap detak jantung, setiap detik adalah untuk menggapai keridhoanNya. Maka pleasure seeking oriented life, tak menjaminkan kebahagiaan. Bahagia hanya tak saat senang saja tapi dapat dicapai meski sedang susab sekalipun. Bahagia bagi mereka adalah soal menggapai keberkahan ilahi dalam susah senangnya mereka. Ketidakbahagiaan ialah saat diri terlena dalam maksiat dan dosa dan menyebabkan sesal merangsek di hati. Kebahagiaan dapat hadir meski dalam musibah asal apa-apa yang dikerjakan sesuai dengan Syariat. Bagaimanapun hasilnya.

Tujuan hidup tak hanya sekadar kesenangan.
"What can my enemies do to me? I have in my breast both my heaven and my garden. If I travel they are with me, never leaving me. Imprisonment for me is a chance to be alone with my Lord. To be killed is martyrdom and to be exiled from my land is a spiritual journey" - Ibnu Taimiyyah

Terjemahan bebasnya;

"Jika aku dipenjara maka ini kesempatanku mendekatkan diri pada Allah. Jika aku dibunuh maka ini kesempatanku Syahid di jalan Allah. Jika aku diasingkan maka ini kesempatanku berjalan diatas bumi Allah" - Ibnu Taimiyyah


    Piring plastik yang beralaskan daun pisang itu telah habis. Beberapa waktu yang lalu ia penuh terisi oleh kuah kental lagi coklat, lidah sapi yang dimasak dengan gurih dan ketupat nasi yang padat lagi putih bersih serta kerupuk merah balado. Waktu menunjukan pukul 22.30 WIB. Telah cukup lama kami berdiskusi tanpa sadar soal waktu. Dan lagi seperti biaya seminar yang tak tanggung mahalnya itu, kali ini ia pun membayariku.
    Betapa luar biasanya hari itu. Sebuah hentakan akan keimananku yang amat rapuh, menyadarkan perlunya terus berbenah. Dan hentakan lain soal integritas dan kerendahan hati serta kemurahan hati juga dari seorang guru yang luar biasa. Betapa tak sedikitpun yang ia katakan tak ia kerjakan dan tak ia pertanggung jawabkan. Bila ia tak tahu atau dangkal pengetahuannya soal itu, dengan jujur ia akui. Bila ada ilmu yang dilontarkan seseorang padanya siapapun itu, ia terima dan senang hati. Dan tak segan ia mengeluarkan hartanya demi silaturrahmi dan ilmu pengetahuan serta meningkatkan keimanan.
    Setiap hentakan ini membekas di hatiku, bahkan tak mampu kutahan asa untuk mengutarakannya disini. Belum lagi kutemui orang-orang seluarbiasa ini. Laiknya berlian alam sana, yang beberapa waktu lalu kutemukan jua.

Bandung, tujuh belas oktober dua ribu lima belas.