Alhamdulillah, berkesempatan menulis lagi. Akhir-akhir ini sedang sibuk membahas tentang Sistem Kesehatan Nasioal, bersiap untuk agenda Forum Mahasiswa Berbicara 2012 Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI). Sistem Kesehatan Nasional, singkatnya adalah pengorganisasian serta berbagai bentuk usaha yang tujuannya untuk meningkatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya. Dalam Sistem ini ada beberapa subsistem kesehatan, Yakni :
1. Upaya Kesehatan
2. Pembiayaan Kesehatan
3. SDM Kesehatan
4. Sedian Farmasi dan Alat Kesehatan
5. Manajemen dan Informasi Kesehatan
6. Pemberdayaan Masyarakat
Kali ini saya tertarik untuk menelaah subsistem 2 tentang Pembiayaan Kesehatan.
Dalam Sistem Kesehatan Nasional yang saat ini dipakai, Mantan Menteri Kesehatan Indonesia Kabinet Indonesia Bersatu II, ibu Siti Fadhilah Supari menyampaikan permasalahan yang ada pada subsistem ini, tertulis pada SKN 2009 yang beliau susun sebagaimaa berikut :
Ada dilema dan konflik batin antara ingin meningkatkan kualitas upaya kesehatan dan tentunya Outcome kesehatan masyarakat dengan energi atau bahan bakar upaya itu, yakni pembiayaan. Saat ini pemerintah belum jua melaksanakan amanat Undang-Undang tentang Pembiayaan Kesehatan. Yakni :
1. Upaya Kesehatan
2. Pembiayaan Kesehatan
3. SDM Kesehatan
4. Sedian Farmasi dan Alat Kesehatan
5. Manajemen dan Informasi Kesehatan
6. Pemberdayaan Masyarakat
Kali ini saya tertarik untuk menelaah subsistem 2 tentang Pembiayaan Kesehatan.
Dalam Sistem Kesehatan Nasional yang saat ini dipakai, Mantan Menteri Kesehatan Indonesia Kabinet Indonesia Bersatu II, ibu Siti Fadhilah Supari menyampaikan permasalahan yang ada pada subsistem ini, tertulis pada SKN 2009 yang beliau susun sebagaimaa berikut :
"Pembiayaan kesehatan sudah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Persentase pengeluaran nasional sektor kesehatan pada tahun 2005 adalah sebesar 0,81% dari Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat pada tahun 2007 menjadi 1,09 % dari PDB, meskipun belum mencapai 5% dari PDB seperti dianjurkan WHO. Demikian pula dengan anggaran kesehatan, pada tahun 2004 jumlah APBN kesehatan adalah sebesar Rp 5,54 Triliun meningkat menjadi sebesar 18,75 Triliun pada tahun 2007, namun persentase terhadap seluruh APBN belum meningkat dan masih berkisar 2,6–2,8%.Pengeluaran pemerintah untuk kesehatan terus meningkat. Namun kontribusi pengeluaran pemerintah untuk kesehatan masih kecil, yaitu 38% dari total pembiayaan kesehatan.
Proporsi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari pemerintah belum mengutamakan upaya pencegahan dan promosi kesehatan. Cakupan jaminan pemeliharaan kesehatan sekitar 46,5% dari keseluruhan penduduk pada tahun 2008 yang sebagian besar berasal dari bantuan sosial untuk program jaminan kesehatan masyarakat miskin sebesar 76,4 juta jiwa atau 34,2%."
Ada dilema dan konflik batin antara ingin meningkatkan kualitas upaya kesehatan dan tentunya Outcome kesehatan masyarakat dengan energi atau bahan bakar upaya itu, yakni pembiayaan. Saat ini pemerintah belum jua melaksanakan amanat Undang-Undang tentang Pembiayaan Kesehatan. Yakni :
UU no 36 tahun 2009
Alokasi Anggaran Kesehatan
Pasal 171
(1) Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.
(2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji.
(3) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 172
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (3) ditujukan untuk pelayanan kesehatan di bidang pelayanan publ ik, terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Keterangan Pasal 171 ayat (3).
Yang dimaksud dengan “kepentingan pelayanan publik” dalam ketentuan ini adalah pelayanan kesehatan baik pelayanan preventif, pelayanan promotif, pelayanan kuratif, dan pelayanan rehabilitatif yang dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Biaya tersebut dilakukan secara efisien dan efektif dengan mengutamakan pelayanan preventif dan pelayanan promotif dan besarnya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari APBN dan APBD.
Namun, anggaran kesehatan yang diajukan untuk APBN 2013 hanya 31,2 trilyun (2,07%) dari rencana total APBN 2013 senilai 1.507 trilyun.
Dengan dasar hukum yang valid dan kuat, kenapa belumlah pemangku kebijakan terkait memperjuangkan APBN dan APBD kesehatan ?
Beberapa fakta dan analisa bermunculan dalam benak saya. Sekilas, saya teringat pada sebuah survei yang dilakukan Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
Ya. Amat disayangkan, mereka yang berjuang untuk menyehatkan Indonesia ternyata masih banyak yang "sakit".
Dengan anggaran yang kini dimiliki sekitar 2-3%, telah terjadi korupsi yang besar dan memunculkan nama kementrian Kesehatan sebagai salah satu lembaga terkorup di Indonesia.
Lantas, dengan dana yang telah dianggarkan selama ini, sudahkah optimal digunakan dan sebanding dengan kinerja Kementrian Kesehatan ?
Dalam penilaian kinerja kementrian Kesehatan tentu tidak gampang dan sederhana dinilai. Namun, terkait pengoptimalisasian anggaran, Politis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, mengemukakan beberapa analisa.
Pertama, alokasi anggaran untuk belanja birokrasi lebih besar daripada untuk pelayanan publik, yakni Pelayanan publik senilai ±Rp15, 3 trilyun (49,30% dari total anggaran Kemenkes), dan Belanja birokrasi senilai ±Rp15,8 trilyun (50,83% dari total anggaran Kemenkes).
Kedua, beberapa anggaran yang termasuk kategori pelayanan publikpun terdapat mata anggaran yang mengundang pertanyaan.
1). Kegiatan yang tidak jelas lokasi dan output yang dihasilkan, yakni Laporan pengendalian lalat dan kecoa (592 laporan) senilai ± Rp 1,5 M; Peningkatan rumah tangga ber-PHBS (12 laporan) senilai ±Rp 69,4 M; dan Penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi (500 laporan) senilai ±Rp 2,88 milyar.
2). Klaim yang plafonnya perlu dipertanyakan besarannya, Klaim rumah sakit (fasyankes) yang melayani pasien peserta jampersal (10 klaim) senilai Rp 1,559 T. Artinya per klaim, dana yang anggaran sebesar Rp 155 M; dan klaim rumah sakit yang melayani peserta program Jamkesmas (1,218 klaim) senilai Rp 5,73 T. Artinya per klaim, dana yang dianggarkan sebesar Rp 4,7 M.
3). Adanya mata anggaran tapi tidak ada program yang tertulis: a) Di kegiatan peningkatan pelayanan kefarmasian : Rp 155 juta. b) Di kegiatan peningkatan produksi dan distribusi alat kesehatan : Rp 984 juta dan 1,4 M. c) Di kegiatan perencanaan dan pendayagunaan SDM kesehatan senilai 1,39 M dan 1,114 M
4). Mata anggaran besar yang dianggap tidak sesuai dengan nilai ekonomis dari alat tersebut: Anggaran untuk alat kesehatan, kedokteran dan KB dalam rangka menuju pelayanan kelas dunia dengan sumber anggaran dari APBN murni senilai Rp 863,9 M untuk 22 unit. (APBN murni : 683,551 M dan PHLN : 180 M ). Artinya per unit dianggarkan ± Rp 39,27 M/unit.
5). Laporan pengendalian Filariasis di daerah endermis (1 laporan ). Dana yang dianggarkan Rp 1,4 M.
Dalam pemikiran yang sederhana dan dangkal, saya menyimpulkan bahwa yang paling mendesak saat ini bukanlah kekurangan. APBN yang telah ada belumlah mampu dioptimalisasi dengan baik sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan. Jika pengelolaan yang masih jadi pekerjaan rumah belum diperbaiki, dan APBN secara semerta-merta langsung ditingkatkan jumlahnya, maka bukan tidak mungkin Kesehatan Masyarakat Indonesia yang kita impikan tidak terjadi dan biaya yang telah dikeluarkan masyarakat menjadi percuma.
Penegakan Hukum. Penegasan konsepan yang telah kita buatkan, haruslah jelas dan adil. Saat tidak ada ujian, maka tidak semua orang akan belajar. Saat tidak ada sanksi mencontek maka semua orang akan bebas melakukannya. Tapi kita harus ingat tujuan ujian bukan untuk meluluskan atau tidak meluluskan saja. Tujuannya besar dan tidak langsungnya ialah perbaikan pendidikan. Pun begitu dengan penegakan hukum. Tujuan hukuman bukanlah menentukan siapa yang salah dan yang benar sahaja, namun menuntut perbaikan baik terhadap pelaku kesalahan dan sistem yang menyebabkan hukuman.
Dan penegakan hukum saja tidak cukup untukperbaikan ini. Dalam kesehatan, ia ibarat langkah kuratif. Diperlukan langkah rehabilitatif untuk kesalahan yang telah ditinggalkan. Dan, untuk langkah preventif serta promotifnya, bukanlah hanya perbaikan sistem, pembuatan hukum yang lebih tegas keras ataupun disiplin, serta peningkatan gaji agar kita tidak tergoda korupsi.
Yang harus diperbaiki adalah manusia dan alasan mereka. Tiap manusia tentu memiliki alasan dan tujuan. Namun dalam pelaksanaannya, ada koridor-kordior benar-salah, pantas-tidak pantas. Karakter bangsa haruslah dikembalikan layaknya dahulu kala. Kita adalah orang timur. Orang Barat menuntut Hak akan diri mereka, sedang Orang Timur menghargai dan bertanggung jawab pada sesama, barulah dapat membicarakan hak mereka.
Ada masalah besar yang kini kita hadapi. Etika. Dan sangat sulit merubah orang lain. Yang paling pasti dapat kita lakukan ialah merubah diri sendiri.
Non-violence leads to the highest ethics, which is the goal of all evolution. Until we stop harming all other living beings, we are still savages. Thomas Alfa Edison
There is an ancient Indian saying: 'We do not inherit the earth from our ancestors; we borrow it from our children.' If we use this ethic as a moral compass, then our rendezvous with reality can also become a rendezvous with opportunity. Pat SchroederSepenuh Cinta,
Fajar Faisal Putra
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2010
Posting Komentar