Bajunya bukannya lusuh, hanya saja setiap yang memandangnya pasti tahu bahwa baju itu tak baru lagi. Usang. Tak tega kusebut kata itu, awalnya. Tapi yang kutahu, kejujuran nan murni yang ia sukai dan hargai. Tanpa embel-embel, tanpa basa basi. Berpeci hitam legam habis dicuci, bercelana panjang jeans, dan beriringan bersama dengan banyak kawan seperjuangan. Ia menyusuri jalanan dari Jati Enam tempatnya tinggal hingga ke Alang Lawas di Selatan dan Gunung Pangilun di Utara. Jika kau bukan orang Padang atau tak pernah datang ke padang, maka kuberitahukan kawan, itu jarak yang tak tanggung jauhnya. Belum lagi panasnya kota Bengkuang itu yang amat terkenal. Dan waktu itu ia hanyalah seorang bocah berusia sepuluh tahun.
Di hari itu, saat semua orang bermaaf-maafan - pada umumnya, memakai pakaian baru lagi cantik, bersiap untuk opor ayam, ketupat gulai pakis, nangka dan buncis - pada khususnya, bocah itu sigap memunguti bekas koran yang dipakai banyak orang sebagai alas untuk sajadah nan indah, setelah dipakai untuk sembahyang dua kali setahun itu. Bekas koran yang tadi pagi dijualnya seharga seratus rupiah sebelum shalat. Tak tega mungkin dirinya membiarkan lapangan kantor gubernur itu yang awalnya hijau ternoda oleh bekas-bekas manusia, yang mungkin lupa tempat sampah ada dimana. Atau mungkin ia kira itu bagian dari tanggung jawabnya juga, bahwa tak mungkin lapangan itu terkotori kalau bukan atas usahanya juga berjualan.
Setelah mentari mulai naik lebih dari sepenggalahan, setelah meminta maaf kepada ibu dan kakak adik serta tetangga juga handai tolan, ia bergegas memakai baju muslim favoritnya itu. Tak lupa peci hitam dan celana jeans. Lalu berkumpul bersama gengnya dan bersiap ke arah Alang Lawas. Alang Laweh kami menyebutnya. Dan benarlah, betapa laweh (luas) nya tempat itu. Hanya kini bukan tanaman alang-alang yang mendominasi, tapi belantara gedung dan rimba beton penuh manusia. Dari Jati enam juga ia sudah banyak melakukannya, ia mengetuk pintu-pintu rumah, awalnya rumah-rumah yang dikenalnya. Rumah tetangganya, kerabatnya, atau hanya kenalannya. Lalu mengucap salam dan memohon maaf lahir batin. Lalu mendoakan. Dan menunggu.
Menunggu mereka yang mengerti lagi berbaik hati, untuk memberikan lembaran-lembaran uang kertas baru yang populer khususnya pada hari raya itu. Tradisi yang entah sudah ada semenjak kapan. Tradisi Manambang kami menyebutnya.
Mungkin, dahulu tradisi ini bermula dari upaya silaturrahim di kampung, yang setiap penghuninya kenal satu dengan lainnya tanpa terkecuali. Jadi anak-anak yang girang lagi suka bertualang berjalan dari ujung hingga ujung agar dapat bersilaturrahim dengan semuanya, karena semua penghuni kampung itu adalah kerabatnya. Dan mungkin, untuk menghargai sekaligus menghadiahi upaya belajar bersilaturrahim pada anak-anak, agar mereka tumbuh besar dan dewasa namun tak lupa dengan kerabatnya, maka diberilah mereka sejumlah uang. Agar senang hati mereka, dan utamanya, agar senang bersilaturrahim.
Namun mungkin semakin hari semakin bergeser esensinya. Kampung yang kecil telah berkembang menjadi kota besar. Tak semua penghuni kenal dengan penghuni lainnya, bahkan yang bersebelahan sekalipun, bisa jadi tak kenal. Pun begitu tradisi Manambang untunglah tak ikut punah. Tetap ada memberi makna. InsyaAllah.
Begitu pula soal bocah itu. Manambangnya kini sudah mulai ke rumah-rumah yang tak dikenalnya penghuninya. Rombongannya banyak, karenanya tak mungkin sebuah rumah memberikan banyak pada masing-masingnya. Karena itu strateginya adalah soal volume. Quantity over Quality, begitu pebisnis menyebutnya. Dan benar saja kawan, seperti yang sudah kusebut diatas, Jati enam Alang Lawas, Alang Lawas Gunung Pangilun, Gunung Pangilun Jati Enam, itu tak tanggung jauhnya. Jauh sekali kawan. Apalagi untuk bocah sepuluh tahun.
Sepulangnya manambang, kukira hasil manambang itu hendak dia habiskan di pasar dengan makanan, pakaian dan mainan, laiknya yang dilakukan oleh rombongannya dan banyak anak seusianya. Kukira begitu, tapi maafkan, rupanya tak begitu yang ia lakukan. Bocah itu, memasukkannya dalam sebuah celengan berbentuk ayam. Terlihat sudah ada beberapa isinya, mungkin hasil Manambang tahun lalu. Mungkin. Tabungan ayam nan mungil itu tergeletak indah disamping lampu belajarnya, yang dia buat dari potongan karton, lampu neon dan kabel seadanya. Disebelahnya buku-bukunya tersusun rapi. Selain buku pelajaran banyak juga buku cerita Wiro Sableng disana. Yang dalam beberapa tahun lagi berubah menjadi buku-buku novel Agatha Christie, Buku Sir Arthur Conan Doyle, dan bahkan beberapa tahun lagi, buku-buku fotokopian anatomi dan faal milik orang yang dipinjamnya.
Tabungan itu, seiring berjalannya waktu, tetap disana. Sesekali pernah ia hilang entah dicuri oleh siapa. Tapi pelan-pelan ia kumpulkan lagi sedikit demi sedikit. Kali ini oleh usahanya bekerja, saat sang bocah itu tak lagi layak disebut bocah, saat ia duduk di bangku sekolah menengah, yang kelak dikenal karena melahirkan banyak orang besar dari sana. Bekerja semenjak siang saat pulang dari sekolah hingga larut malam, begitu setiap hari nyaris tanpa libur. Mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan di pasar, tersering di toko jam itu, yang dulu pernah dimiliki almarhum ayahnya. Yang kini dikuasai kakaknya beda ibu, yang hanya Allah yang tahu bagaimana perangainya. Dalam diam, ia terus bekerja. Tak banyak bicara, tak banyak mengeluh.
Kadang tabungan itu ia sendiri yang memakai isinya. Kadang untuk biaya kuliahnya. Tapi kadang juga diam-diam ia berikan pada ibunya, saat ia sadar tak banyak beras tersisa di dapur. Saat ia sadar sang ibu sedang sering merenung dan terdiam, meski tak sedikitpun berkata-kata. Ia tahu ibunya tak akan mungkin menceritakan beban keluarga padanya. Karenanya ia paksakan padanya. Kadang juga untuk adik-adiknya yang sedang tak banyak hasil usaha mereka, di sela-sela sekolah mereka. Maka sang bocah, yang sudah menjadi Si "Abang" ini, diam-diam, memberi pada adik-adiknya tersayang. Yang hingga kini, meski kondisinya telah berbeda, tak lelah ia membantu mereka yang terlalu dicintainya itu.
Dan kini, rupanya telah berbeda posisinya. Kini, rumahnya yang didatangi anak-anak yang manambang. Dan setiap kali mereka datang dan kami ada disana, ia terdiam sejenak, lalu setelah ia berikan hak anak-anak itu, dan kutahu, ia doakan juga mereka, maka ia akan berpaling pada kami. Bercerita pelan-pelan pada kami, soal dirinya yang dahulu ada di posisi mereka.
Dan kami, tak bosan-bosannya setiap tahun, berkaca-kaca dan menunduk sembari tersenyum bangga. Soal pribadi nan tak pernah mengeluh, tak pernah marah, tak pernah lelah, mencintai sepenuh-penuhnya, berikhtiar sekuat-kuatnya, yang menjadi contoh dan teladan bagi kami, yang menjadi penyemangat ketika kami jatuh dan bersedih hati, pun ketika kami bahagia dan bersuka ria, yang tak banyak bicara namun bekeja dan memberi bukti, yang teguh dan panjang sabarnya. Yang memberi kami kebanggaan untuk dari semua manusia yang ada di dunia, kamilah yang berhak memanggilnya Ayah.
Selamat hari lahir, ayah nomor satu di dunia. Tetaplah menjadi kebanggan kami, dan semoga kita, bersama semua orang yang kita cintai karena Allah, dapat berkumpul bersama lagi di surganya Allah.
Jikalau berat olehmu rasanya berpuasa, nak, maka ingatlah insyaAllah akan lebih nikmat nanti berbuka - Ayah
Bandung, dua puluh tujuh desember dua ribu lima belas.
Posting Komentar