Jatinangor, 24 Mei 2012
Untuk ‘mereka’ yang tanpa lelah berjuang dalam rimba
pendidikan
-
Cahara Adhi
-
Edginov Demas
-
Erick Maulana
-
Eris Abdul Aziz
-
FM Dicky Fitra
-
Hafiz Ambyo
-
Muhammad Ramdani
-
Rafli Nur Febri
Assalamualaikum warrahmatullahiwabarakatuh,
Ikhwan shalih,
Sebentar lagi kita akan
menghadapi sebuah lonjakan kecil dalam hidup kita. Ya, sebuah ujian. Ujian
memang bukan segala-galanya, tapi segala-galanya dapat bermula dari ujian ini.
Dalam ujian ini, yang terlihat diuji memang hanya kemampuan kecerdasan kita.
Namun ternyata, dari balik itu semua, sedang diuji ‘mental’ seorang dokter.
Bila boleh saya membagi, saat
akan menghadapi ujian, saya coba bayangkan nama dan usia yang tertera dalam
lembaran pertanyaan itu nyata. Saya bayangkan dalam ujian lisan kita, yang saya
hadapi adalah seorang anak. Seorang ayah. Seorang suami. Seorang istri. Seorang
teman. Seorang sahabat. Yang saya hadapi bukanlah dokter dengan lembar
evaluasi.
Ikhwan shalih, saat menjawab
ujian tulisan, sungguh sedih, hingga kini belumlah efektif pembelajaran yang
saya lakukan. Saya sedih saat masih saja kekeliruan saya lakukan. Saya sedih
akan berbulan-bulan yang telah berjalan. Dan hasilnya, masih saja ada ‘pasien’
yang terluka karena saya. Masih saja ada penanganan yang belum saya pahami
sepenuhnya.
Ikhwan shalih, setiap perasaan
ini bukanlah karena waham kesempurnaan yang saya inginkan. Saya bukanlah
menuntut agar dokter seharusnya sempurna. Yang saya sedihkan adalah, saat
seharusnya seorang dokter bisa melakukannya tapi ia memilih untuk tidak
melakukannya.
Ikhwan shalih, seorang dokter
pernah berkata kepada saya, bunyinya begini,
“Dokter itu bisa salah. Tapi tidak boleh.”
Ikhwan, sungguh, meski sedikit
namun kekeliruan yang kita lakukan kan berujung tangisan. Mereka yang pergi tak
kan mungkin kembali.
Kita harus terus berusaha ikhwan.
Namun sebuah nilai bukanlah indikator utama. Ia memang indikator kuat sebuah
kepahaman. Namun, niatkanlah lebih jauh lagi. Seorang peneliti Indonesia,
satu-satunya yang diterima dalam sebuah lembaga penelitian termasyhur di
Amerika sana, saat ditanya IP-nya, beliau menjawab IP bukanlah kelebihan saya.
IP saya 3.02. Namun kini ia terbaik dalam zamannya.
Namun, nilai tetaplah penting.
Nilai adalah bonus dari segenap usaha yang kita lakukan. Dan harusnya besarnya
usaha juga berbanding lurus dengan nilai yang didapatkan.
Tapi, janganlah bersedih, ikhwan.
Saat nilai itu belumlah yang dinginkan, maka bersyukurlah. Bersyukurlah karena
kesalahan itu terjadi saat ini, dalam sebuah habitat buatan bernama pendidikan.
Karena saat kesalahan itu terjadi pada habitat alami, rimba realita, maka hukum
kita sungguh keras.
Saat kita sadar kesalahan kita,
berarti kita dekat pada kebenaran. Otak akan berpikir dan mengingat, ini bukan
kebenaran. Dan otak akan terangsang untuk mencari kebenaran.
Terakhir, jangan ragu dan resah
saat hasil belumlah sepadan dengan usaha. Saat menemui situasi “saya bisa dan
mengerti, kenapa hanya segini”. Lihatlah kedalam hati, tanyakan padanya tentang
kepantasan. Tanyakan padanya tentang kesungguhan. Dan tanyakan padanya tentang
keikhlasan. Buka kembali lembaran-lembaran buku tebal itu, baca lagi baik-baik,
pelajari lagi matang-matang. Jika telah yakin akan kebenaran itu, maka
hendaklah jangan lupa sebuah realita dunia. Penguji juga manusia. Dan sistem
yang ada mungkin belumlah baik. Maka maafkanlah manusia, jika manusia tidak
sempurna. Maafkanlah, dan ikhlaskanlah. Allah tahu kok tentang usaha, kemampuan
dan kesungguhan ikhwan shalih semua. J
Tetaplah semangat, ikhwan shalih.
Jangan biarkan air mata berlinang karena kita. Jangan kecewakan ‘pasien’ kita
tanggal 28 mei hingga 15 juni nanti. Sebuah panggilan untuk ber-TOBAT,
Totalitas tanpa Batas.
Hamasah !
Wassalamualaikum warrahmatullahiwabarakatuh.
Sepenuh cinta,
Fajar Faisal Putra
Posting Komentar